Nasional

Rukyatul Hilal Boleh Gunakan Alat Asal Posisi Bulan Sudah Imkanur Rukyah

Sabtu, 20 Juli 2024 | 07:00 WIB

Rukyatul Hilal Boleh Gunakan Alat Asal Posisi Bulan Sudah Imkanur Rukyah

Seminar Istinbath Hukum Islam dan Bahstul Masail, Kamis (18/7/2024) di GreenSA Inn & Training Center UIN Sunan Ampel Surabaya, Jawa Timur. (Foto: NU Online/Suwitno)

Sidoarjo, NU Online 

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) melalui Lembaga Bahtsul Masail (LBM) membahas pandangan fiqih terkait penggunaan alat optik dan kamera yang dilengkapi filter astronomi serta teknik olah citra dalam rukyatul hilal. Hal itu dibahas dalam kegiatan Seminar Istinbath Hukum Islam dan Bahstul Masail, Kamis (18/7/2024) di GreenSA Inn & Training Center UIN Sunan Ampel Surabaya, Jawa Timur.


Dalam forum tersebut, disepakati bahwa rukyatul hilal diperbolehkan menggunakan alat apapun yang dapat memberikan keyakinan bahwa hilal sudah mungkin dilihat, meskipun tidak bisa dilihat secara langsung.


Namun, Pengurus Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU, KH Najib Bukhori memberi catatan bahwa penggunaan alat-alat tersebut diperbolehkan selama posisi bulan berada dalam posisi imkanur rukyah atau dapat dilihat.


"Dibenarkan bahwa rukyah bisa menggunakan alat apapun yang bisa memberikan keyakinan bahwa hilal sudah mungkin dilihat, meskipun tidak bisa dilihat secara langsung, tapi melalui alat," kata Kiai Najib kepada NU Online.


Dalam ilmu falakiyah, sambungnya, kriteria imkanur rukyah salah satunya adalah elongasi dan ketinggian hilal di atas ufuk yang selama ini ditetapkan minimal 2 derajat. Jika hilal sudah berada pada posisi dua derajat, maka dianggap bisa dilihat.


Forum juga membahas terkait dengan kedudukan hilal pada siang hari menurut fiqih, terutama dalam kasus penentuan hilal siang hari di Kudus pada penentuan awal Muharram. 


Kiai Najib menjelaskan, rukyah yang hanya diambil berdasarkan fotografi atau menggunakan alat tetap diperbolehkan. Misalnya, jika sudah malam dan hilal dilihat menggunakan alat fotografi yang dapat membuat kontras langit dengan hilal menjadi sangat tinggi sehingga objek hilal bisa tampak, hal ini dibenarkan. 


"Bagaimana penetapan awal Ramadhan berdasarkan awal rukyah pada alat fotografi yang bisa memastikan bahwa pada malam atau setelah matahari terbenam bisa memastikan terlihat hilal? Sekali lagi, tetap sepanjang hilal itu berada pada posisi imkanur rukyah, 2 derajat. Kalau di bawah itu tidak bisa," jelasnya.


Penetapan awal Ramadhan berdasarkan rukyah menggunakan alat fotografi yang bisa memastikan terlihatnya hilal pada malam hari atau setelah matahari terbenam juga diperbolehkan, sepanjang hilal berada pada posisi imkanur rukyah.


Namun, pengamatan hilal di siang hari atau sebelum terbenam matahari tidak diperbolehkan karena siang hari hilal tidak mungkin terlihat. Imkanur rukyah ini tidak ada sehingga hilal tetap harus bisa dilihat secara langsung pada malam hari untuk keperluan isbat awal bulan hijriah.


"Bagaimana kalau difoto tapi di siang hari atau sebelum terbenam matahari? Ini dijawab tidak bisa. Kenapa? Karena siang hari itu hilal tidak mungkin terlihat. Artinya, imkanur rukyah ini tidak ada, artinya harus hilal tetap bisa dilihat karena siang hari itu tidak mungkin hilal dilihat," ungkapnya.


Perlu ada aturan hukum penetapan Ramadhan, Syawal, Dzhulhijjah

Dalam forum tersebut juga dibahas problematika sidang isbat penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah dari sudut pandang hukum positif di Indonesia.


Kiai Najib menjelaskan bahwa forum sepakat mendorong perlunya penguatan peran pemerintah dalam sidang isbat dan perlunya negara membuat aturan hukum yang mengatur penetapan tanggal penting dalam kalender Hijriah tersebut.


"Pemerintah itu harus menetapkan satu peraturan yang bisa menjaga persatuan dalam pengertian bagaimana masyarakat itu tidak menampakkan egoisme kelompok," jabarnya.


Pemerintah dianggap perlu menetapkan aturan yang mewajibkan semua masyarakat mengikuti ketetapan pemerintah tentang puasa dan hari raya untuk menjaga persatuan dan kesatuan umat. 


"Itu perlu didorong atau diperlukan menggunakan perundang-undangan, entah itu undang-undang, entah itu aturan pemerintah," ujar dia.


Namun, jika ada yang tidak ingin mengikuti ketetapan tersebut, hal ini tetap diperbolehkan asalkan tidak diperlihatkan secara terbuka untuk menjaga agar perayaan lebaran di Indonesia tetap seragam.


"Seandainya ada yang tidak ingin mengikuti, boleh. Cuma jangan diperlihatkan supaya di indonesia lebarannya cuma satu. Itu artinya, orang tidak dilarang meyakini apa yang menjadi keyakinanya," ucapnya.