Nasional

Sejumlah Kiai Tarekat Kunjungi PBNU, Ini yang Dibahas

Senin, 2 September 2024 | 19:30 WIB

Sejumlah Kiai Tarekat Kunjungi PBNU, Ini yang Dibahas

Sejumlah kiai tarekat mengunjungi PBNU, berkonsultasi dengan Gus Yahya terkait keberlangsungan organisasi Jatman, pada Senin (2/9/2024). (Foto: TVNU/Ghufron)

Jakarta, NU Online

Sejumlah pengurus dan kiai-kiai tarekat dari Jam’iyah Ahlit Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyah (Jatman) dipimpin KH Achmad Chalwani Nawawi sebagai salah seorang anggota Majelis Ifta’ wal Irsyad Idarah Aliyah, mengunjungi kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), pada Senin (2/9/2024).


Kedatangan mereka diterima Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) dan Wakil Ketua Umum H Amin Said Husni.


“Mereka hadir untuk, pertama, menanyakan status dari kepengurusan Idarah Aliyyah Jatman yang semestinya sudah berakhir bulan September 2023, tapi belum bermuktamar sampai sekarang,” ujar Gus Yahya, usai pertemuan.


“Yang kedua, mereka melaporkan realitas terkini dari organisasi Jatman itu sendiri kepada PBNU, dan meminta PBNU untuk mencarikan jalan keluar,” imbuhnya.


Berdasarkan keterangan dari Amin Said Husni, lanjut Gus Yahya, memang ada surat permohonan perpanjangan SK dari Idarah Aliyyah Jatman kepada PBNU, tapi baru diterima pada Juli 2024.


“Sehingga memang ada masalah legal formal yang harus difasilitasi, mengingat bahwa status dari Idaroh Aliyyah saat ini, secara teknis, memang problematis,” terang Gus Yahya.


Dalam kesempatan ini, PBNU meminta kepada para kiai tarekat yang hadir untuk melakukan komunikasi dengan para pimpinan di lingkungan Jatman untuk kemudian berkonsultasi dengan PBNU dalam waktu dekat.


Sementara itu, Sekretaris Idarah Wustha JATMAN Jawa Tengah Prof Muhtarom berharap bahwa regulasi yang ada, yaitu Peraturan Dasar dan Peraturan Rumah Tangga (PD/PRT) Jatman, sebagai badan otonom NU, dapat dilaksanakan dengan baik dan benar.


“Karena harusnya ini sudah berakhir tahun 2023. Sampai sekarang belum ada perpanjangan. Berarti kan sudah tidak ada kewenangan untuk melakukan itu,” ujarnya.


“Kami datang ke sini untuk minta petunjuk PBNU, bagaimana langkah kami setelah induk kami itu tidak punya legitimasi lagi, itu kami harus bagaimana,” imbuhnya.


Prof Muhtarom mengaku, pihaknya menyerahkan solusi yang terbaik kepada PBNU dengan tetap memperkuat persaudaraan antarsesama umat Islam.


“Supaya organisasi yang besar ini bisa dikelola dengan baik, dengan tetap menekankan aspek ukhuwah islamiyahnya, dengan berdasarkan sesuai dengan prinsip-prinsip akhlakul karimah,” ucapnya.


“Kita tetap takzim, tetap menghormati siapa pun, yang jelas kita hanya ingin regulasi itu dijalankan sesuai dengan ketentuan yang ada, karena kami sudah tidak punya induk. Ibaratnya, kami lapor sama bapak kami, PBNU,” imbuhnya.


Pelurusan sejarah berdirinya Jatman

Dalam kesempatan yang sama, Kiai Chalwani mengungkapkan tujuan kunjangan ini adalah pelurusan sejarah berdirinya Jatman.


“Kami dari teman-teman Jatman wilayah dan para mursyid kepingin meluruskan sejarah Jatman. Itu saja, enggak ada niat yang lain,” ujar Kiai Chalwani.


“Jadi, awal berdirinya Jatman, dulu namanya belum Jatman, tahun 1957, itu pendirinya adalah empat orang kiai: Kiai Muslih Mranggen, Kiai Nawawi Purworejo, Kiai Mandhur Temanggung, dan KH Masruhan Ihsan Mranggen Semarang,” ujarnya.  


Kemudian, lanjut Kiai Chalwani, akhir-akhir ini ditemukan penulisan sejarah Jatman yang berbeda. Pendirinya menjadi empat orang kiai dari Magelang, yaitu Kiai Siraj Payaman, Kiai Dalhar Watucongol, Kiai Chudlori Tegalrejo, dan Kiai Abdul Hamid Kajoran Magelang. Menurutnya, hal itu tidak benar.


“Bahwa Kiai Dalhar, Kiai Siraj, itu sesepuh Magelang, gurunya Kiai Nawawi, gurunya Kiai Mandhur, ikut mendorong dan mendoakan Kongres pertama di Tegalrejo, betul. Tapi, tidak dalam kapasitas pemrakarsa dan pendiri (Jatman),” terang Kiai Chalwani.


“Kiai Chudlori juga begitu. Kiai Chudlori itu, dia bukan (kiai) tarekat tapi kiai pesantren. Tapi dia punya kehebatan, walaupun dia bukan kiai tarekat, tapi ikut mem-backup dana Kongres tahun 1957. Itu kehebatan Kiai Chudlori. Yang keempat, Kiai Abdul Hamid, dia juga bukan kiai tarekat, tapi kiai ahlul hikmah. Orang salah satu istrinya malah talqin-nya kepada Bapak saya. Maka saya ingin supaya dikembalikan sejarahnya sesuai dengan tahun 1957 itu,” urainya.