Warta

Umat Islam Harus Arif Sikapi Perbedaan Hari Raya

Rab, 19 Desember 2007 | 07:01 WIB

Jakarta, NU Online
Umat Islam di Indonesia diharapkan lebih arif dalam menyikapi perbedaan hari pelaksaan shalat Idul Adha. Pendekatan dialog tetap diperlukan menyikapi perbedaan sikap dan pemahaman terhadap teks kitab Suci Al-Qur'an dan perintah Nabi Muhammad SAW.

Demikian dikatakan Ketua Lajnah Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LFNU) KH Ghazali Masroeri menyusul pelaksanaan shalat Idul Adha oleh pengikut organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan dan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), hari ini, Rabu (19/12), setelah sebelumnya pemerintah dalam hal ini Departemen Agama bersama seluruh ormas Islam menetapkan Idul Adha jatuh pada hari Kamis besok.

<>

"Perbedaan jangan sampai berkembang menjadi pertentangan. Sebaiknya kita lebih mempererat persaudaraan dengan cara belajar bersama memahami nash Al-Qur'an dan Hadits Nabi SAW," kata Kiai Ghazali kepada NU Online di Jakarta, Rabu (19/12).

Namun begitu, Kiai Ghazali Masroeri tetap menyarankan seluruh organisasi Islam mematuhi keputusan pemerintah. Pada beberapa kasus, organisasi Islam tetap bersikukuh pada keputusan intern organisasinya masing-masing meski sudah ada keputusan bersama ormas-ormas Islam termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam sidang itsbat di Departemen Agama.

"Sepanjang apa yang dilakukan pemerintah tidak bertentangan dengan Nash, kita ikuti saja. Kalau tidak kita akan terus berbeda. Ini bisa menjadi renungan semua pihak," kata Kiai Ghazali.

Ditambahkannya, LFNU meski mempunyai metode hisab dan rukyat sendiri, tetap melaporkan semua hasil kepada pemerintah. NU secara organisatoris tidak akan menerbitkan pengumuman awal bulan (ikhbar) sebelum sidang itsbat selesai.

Tetap Sah

Menyinggung pelaksanaan shalat Idul Adha oleh para pengikut HTI dan DDII, menurut Kiai Ghazali, shalat yang dilakukan tetap sah karena berdasar pada pendapat dan keyakinan masing-masing.

Menurutnya, organisasi yang menjalankan shalat hari ini berdasar secara kaku pada prinsip bahwa hari raya Idul Adha (10 Dzulhijjah) adalah berdasarkan pelaksanaan Wuquf di Arafah (9 Dzulhijjah), salah satu rangkaian ibadah haji, yang ditetapkan hari pelaksanaannya oleh pemerintah kerajaan Arab Saudi.

Sementara itu NU dan mayoritas organisasi Islam lainnya berbendapat bahwa ada perbedaan wilayah geografis atau dalam ilmu astronomi disebut matla yang memungkinkan perbedaan hari pelaksaan Idul Adha. Matla' adalah batas dimana satu wilayah dihitung mengalami terbit dan terbenam matahari pada waktu yang hampir bersamaan.

Soal perbedan matla' ini, menurut AKiai Ghazali, NU berpegang pada hadits shahih riwayat Sahabat Kuraib yang ditakhrij oleh Imam Muslim, bahwa Sahabat Ibnu Abbas yang tinggal di Madinah menolak berpegang pada rukyatut hilal penduduk Syam kendati telah diitsbat oleh khalifah Mu'awiyah. Ibnu Abbas mengatakan, "Hakadza Amarana Rasulullah!" (Begitulah Rasulullah menyuruh kami!).

Secara alamiah, Kiai Ghazalie menegaskan, adanya perbedaan terbit dan terbenam Matahari di pelbagai kawasan di Bumi menyebabkan tidak mungkin seluruh permukaan Bumi disamaratakan sebagai satu matla’. (nam)