Warta MENUJU PENYATUAN AWAL BULAN HIJRIYAH (1)

Wujudul Hilal ataukah Dhuhurul Hilal?

Jum, 7 Desember 2007 | 04:00 WIB

Yogyakarta, NU Online
Banyak yang mengira perbedan NU dan Muhamamdiyah dalam penetapan awal bulan Hijriyah adalah soal rukyat dan hisab. NU menetapkan awal bulan dengan cara yang sederhana yakni dengan mengadakan rukyatul hilal atau melihat bulan sabit pada tanggal 29 kalender Hijriyah, sementara Muhammadiyah menggunakan hisab atau perhitungan astronomis.

Anggapan itu ternyata kurang tepat dan terlalu meyederhanakan masalah. NU juga menggunakan hisab dalam penentuan awal bulan Hijriyah. Hisab tidak hanya berfungsi untuk membantu teknis pelaksanaan rukyatul hilal. Bagi NU, hisab pada saat tertentu bahkan dapat membatalkan atau menolak laporan hasil rukyaul hilal.<>

Pada penetuan awal syawal 1427 dan 1428 H kemarin, Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU) menolak laporan hasil hisab yang dilakukan oleh warga NU sendiri karena pada saat itu semua metode hisab menunjukkan bahwa bulan belum memenuhi kriteria imkanhur rukyat atau belum berada pada ketinggian tertentu berdasarkan hisab sehingga hilal tidak mungkin akan bisa dilihat. Selain memang ada sebab lain seperti ketidaklayakan lokasi yang digunakan.

Dalam pertemuan NU dan Muhammadiyah di Kantor PP Muhammadiyah Yogyakarta, Kamis (6/12), para pakar falak dari kedua organisasi terbesar itu membeberkan metode masing-masing dalam menentukan awal bulan Hijriyah.

Bagi Muhammadiyah, penetapan awal bulan awal bulan itu dilakukan setelah melewati tiga kejadian, berdasarkan hisab. Pertama jika sudah terjadi ijtima' atau konjungsi. Kedua jika konjungsi terjadi sebelum ghurub atau tenggelam Matahari. Ketiga pada saat Matahari terbenam di hari konjungsi itu Bulan berada di atas ufuk atau tenggelam sebelum Matahari.

"Kalau tiga ini terpenuhi maka keesokan harinya sudah terhitung bulan baru," kata Ketua Majelis Tarjih Muhamamdiyah Syamsul Anwar.

Seperti yang terjadi dalam penentuan awal syawal 1428 H kemarin. Kunjungsi terjadi 6 jam sebelum Matahari terbenam dan bulan berada di atas ufuk. Maka bagi Muhammadiyah, pada kondisi seperti itu berarti sudah dihitung awal bulan.

Pengurus Majelis Tarjih yang lain, Oman Fathurrahman menambahkan, yang diperhitungkan dalam posisi di atas atau di bawah ufuk itu adalah adalah tepi piringan bulan sebelah timur atau sebelah atas. Inilah yang melahirkan konsep atau kriteria "wujudul hilal" atau hilal sudah dinyatakan "ada" pada tiga kondisi itu.

Namun definisi wujudul hilal yang dimaksud oleh MUhammadiyah masih dalam koridor hisab, atau perhitungan astronomis belaka. "Tidak disyaratkan hilal harus terlihat atau tidak," kata Oman Farhurrahman yang juga dosen UIN Yogyakarta.

Sementara bagi NU, definisi hilal mengacu pada pengertian astronomis yakni bulan sabit, atau hilal adalah bagian bulan yang tampak dengan sinar lembut terlihat dari bumi setelah matahari terbenam pada hari telah terjadi ijtima. Demikian Ketua LFNU KH Ghazalie Masroeri.

Pengurus LFNU yang lain, DR Djamhur Effendi mengkritik Muhammadiyah bahwa konsep wujudul hilal itu hanya bersifat teoritis dan dalam ilmu astronomis memang tidak pernah dipakai. Dia mencontohkan, planet pluto sudah lama diteoritisasikan, namun baru ditatakan sebagai hasil temuan astronomis setelah diadakan observasi langsung, dan belakangan banyak terjadi kesalahan dalam teori itu.

Maka kriteria wujudul hilal itu tidak bisa menjadi patokan awal bulan. Awal bulan baru dihitung ketika bulan sabit sudah bisa diobservasi langsung atau dengan kata lain sudah dhuhurul hilal, bulan sabit sudah senyatanya ada berdasarkan pengamatan. Demikianlah juga yang dikehendaki oleh Nabi Muhamamad SAW dalam perintah rukyatul hilal.

"Kriteria wujudul hilal itu 100 persen teoritis. Belum ada alat yang bisa mendeteksi benda seperti itu, Amerika sekali pun. Jadi itu tidak bisa dijadikan patokan awal bulan. Beda dengan ijtima’ yang bisa kita jadikan patokan karena bisa dikoreksi langsung akurasinya pada setiap terjadi gerhana," katanya.(A Khoirul Anam)

bersambung..