Warta MENUJU PENYATUAN AWAL BULAN HIJRIYAH (3)

Titik Temu NU-Muhammadiyah

Ahad, 9 Desember 2007 | 22:07 WIB

Yogyakarta, NU Online
Peristiwa alam yang bisa dijadikan patokan bersama untuk menetapkan awal bulan Hijriyah adalah ijtima' atau konjungsi, yakni peristiwa segaris atau sebidangnya pusat Bulan dan pusat Matahari pada pusat Bumi. Ijtima' juga disebut sebagai bulan baru (new moon). Dalam ilmu hisab atau astronomi, pada saat demikian, Bulan dan Matahari memiliki bujur ekliptika yang sama.

Ada banyak teori dalam ilmu hisab, namun paling tidak teori-teori tentang ijtima' itu bisa dicek akurasinya pada saat Bumi, Bulan dan Matahari berada pada posisi istimewa, yakni saat terjadi gerhana. Masalahnya, NU dan Muhammadiyah berbeda teori dalam menyikapi ijtima' itu dan tentunya berbeda teori dalam penetapan awal bulan Hijriyah (new month).

<>

Jika posisi bulan belum mencapai ijtima' pada saat terbenam Matahari (ghurub) tanggal 29 kalender Hijriyah, atau pada saat sudah terjadi ijtima' sementara posisi Bulan negatif alias Bulan Tenggelam terlebih dahulu dibanding Matahari, maka Bulan yang sedang berjalan berumur tigapuluh hari atau keesokan harinya umat Islam masih berada pada tanggal 30.

Pada saat seperti itu NU dan Muhammadiyah sama, karena bisa dipastikan rukyatul hilal yang diadakan NU tidak akan berhasil melihat hilal, meskipun tidak terhalang mendung. Kalaupun ada yang melapor berhasil melihat hilal, laporan itu dengan serta-merta ditolak oleh NU berdasarkan kaidah bahwa laporan rukyatul hilal akan ditolak jika para ahli hisab manapun (dalam derajat mutawatir) sepakat bahwa hilal belum akan terlihat.

Namun pada saat sudah terjadi ijtima' sementara Bulan berada pada posisi positif alias Matahari Tenggelam terlebih dahulu dibanding Bulan, maka disinilah perbedaan itu terjadi. Muhammadiyah berpandangan bahwa pada posisi ini sudah dihitung masuk awal bulan (new mont). Peristiwa itu disebut sebagai wujudul hilal, bahwa hilal sudah ada, meskipun kenyataannya hilal belum terlihat dari Bumi.

Dalam pertemuan dengan Lajnah Falakiyah PBNU di kantor PP Muhammadiyah, Kamis (6/12) lalu, Majelis Tarjih Muhammadiyah kembali menyatakan bahwa rukyatul hilal hanya disyaratkan pada masa Nabi Muhammad SAW, dan pada saat ilmu pengetahuan sudah berkembang seperti sekarang ini maka peraturan itu sudah tidak berlaku.

Bagi NU, selain tetap berpatokan pada sabda Nabi itu, hilal atau bulan sabit atau dalam bahasa astronomi disebut sebagai crescent adalah bagian dari bulan yang menampakkan cahayanya dan terlihat dari bumi sesaat setelah matahari terbenam pada hari ijtima’. Ini dinilai lebih berpengetahuan dan lebih ilmiah karena bagaimanapun teori wujudul hilal itu tidak bisa diobservasi dengan alat secangging apapun, masih murni teoritik. Nah observasi itu adalah rukyatul hilal, dan rukyatul hilal baru bisa dilakukan ketika Bulan sudah berada pada ketinggian tertentu pada saat gurub di hari ijtima'.

Begitulah rumitnya. Namun ada yang sedikit melegakan. Pada akhir diskusi yang "luar biasa" antara para ahli astronomi NU dan Muhammadiyah itu KH Slamet Hambali dari Lajnah Falakiyah PBNU menawarkan titik temu yang tidak mengganggu teori masing-masing. Kiai Slamet menawarkan terma "wujudul hilal plus" sebagai solusi.

Menurutnya, gagasan itu juga pernah dilontarkan, entah serius atau bergurau, oleh salah seorang pengurus Muhammadiyah, bahwa kriteria wujudul hilal Muhammadiyah baru bisa diberlakukan jika seluruh kawasan Indonesia sudah mengalami ijtima’. Sebelumnya kriteria wujudul hilal itu tidak pandang bulu; ketika di suatu kawasan di Indonesia bulan sudah positif di hari ijtima' maka sudah dihitung awal bulan, meski sebagian besar kawasan lainnya belum.

Dipastikan semua daerah yang mengalami ijtima’ lebih awal akan mencapai derajat ketinggian yang imkanur rukyat atau bisa dirukyat jika wujudul hilal itu diharuskan mencakup seluruh kawasan di Indonesia. Dan tim rukyatul hilal Lajnah Falakiyah NU atau Departemen Agama dan LAPAN atau lembaga lain yang bergelut di bidang astronomi apalagi didukung dengan teropong serba canggih pasti akan berhasil melihat hilal pada saat imkanur rukyat.

Lalu, jika teori wujudul hilal plus itu disepakati di Kalangan Muhammadiyah, dan jika Bulan belum positif di hari ijtima' di suatu daerah di Indonesia maka Muhammadiyah tidak akan mengumumkan hari raya pada hari itu, syukur-syukur tidak mengungumkan lebaran pada jauh-jauh hari. Dengan begitu perbedaan penentuan awal bulan semua organisasi Islam akan bisa disatukan dalam sidang itsbat bersama Departemen Agama.

Namun teori wujudul hilal plus itu tentunya disertai dengan perubahan definisi di dalam tubuh Muhammdiyah mengenai kawasan, wilayah hukum, balad atau dalam astronomi ada istilah matla'. Kali ini penentuan awal bulan Hijriyah tidak saja terkait dengan otoritas ahli falak, namun juga ahli fikih. Apakah keduanya bisa berkompromi? Bagi kita yang ingin berpuasa dan berlebaran pada hari yang sama, pasti mengusulkan jawaban sederhana, "bisa!" (A Khoirul Anam)