Internasional

Ramai Seruan Boikot Produk pro-Israel, Efektifkah?

Sel, 7 November 2023 | 19:00 WIB

Ramai Seruan Boikot Produk pro-Israel, Efektifkah?

Seorang wanita memegang tanda bertuliskan “Boikot Israel” di depan peti mati simbolis saat menghadiri demonstrasi pro-Palestina selama Operasi Perlindungan Israel terhadap Gaza, di Berlin, pada 1 Agustus 2014. (Foto: Reuters)

Jakarta, NU Online 
Sebanyak 10.022 warga Gaza dilaporkan meninggal dunia dalam konflik Israel-Palestina, menurut keterangan United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (OCHA) dari Kementerian Kesehatan Gaza.


Puncak eskalasi yang meletus pada 7 Oktober 2023 telah melahirkan seruan boikot produk-produk Israel dan produk global yang terafiliasi dengan penjajahan Israel terhadap Palestina menyebar luas di berbagai negara. Upaya ini dinilai dapat menghentikan serangan militer Israel ke rakyat sipil Palestina. 


Namun, seberapa efektifkah gerakan tersebut?


Dalam tulisan Mengapa Anda Harus Mendukung Boikot, Divestasi, dan Sanksi Terhadap Israel di Jacobin, Penulis Kontributor Palestina: Pengantar Sosialis Daphna Thier dan Direktur Strategi dan Komunikasi Justice Project Sumaya Awad menjelaskan bahwa lebih dari 170 organisasi masyarakat sipil Palestina telah menyerukan boikot, divestasi, dan sanksi (BDS) terhadap Israel hingga negara tersebut mematuhi hukum internasional.  


Seruan yang dilayangkan oleh organisasi Palestina baik di Tepi Barat dan Gaza serta warga Palestina di Israel, secara resmi diluncurkan pada tahun 2005 silam. 


Dalam paparannya, disebutkan bahwa tuntutan gerakan BDS bersifat konkret: Merobohkan tembok apartheid dan mengakhiri pendudukan Tepi Barat dan Dataran Tinggi Golan, mengakui hak penuh warga Palestina di Israel, dan menjunjung resolusi PBB 194. 


“... pengungsi yang ingin kembali ke rumah mereka dan hidup damai dengan tetangga mereka harus diizinkan untuk melakukan hal tersebut sedini mungkin, dan bahwa kompensasi harus dibayarkan untuk harta benda mereka yang memilih untuk tidak kembali dan atas kehilangan atau kerusakan harta benda yang, berdasarkan prinsip-prinsip hukum internasional atau kesetaraan, harus dilaksanakan oleh Pemerintah atau otoritas yang bertanggung jawab.” demikian keterangan dalam tulisan tersebut, dikutip Jacobin, Selasa (7/11/2023).


Namun, pertanyaan yang muncul mengenai upaya BDS tersebut adalah terkait efektivitas dalam menekan agresi Israel. Daphna Thier dan Sumaya Awad berpendapat bahwa meskipun masih dalam skala kecil, terdapat banyak contoh dampak BDS dalam mengubah opini publik mengenai Israel dan mengganggu investasi perusahaan dalam apartheid.


Efektivitas dan potensinya juga dapat diukur dari respons kejam yang dipicu oleh gerakan ini di Israel dan mitra-mitranya. Hal ini menandakan BDS sebagai kekuatan besar, meskipun gerakan ini belum sekuat dan tersebar luas sebagaimana potensinya. Pendukung Israel telah menghabiskan banyak uang dan pengaruhnya untuk memarjinalkan, menganiaya, dan mengancam semua orang yang terlibat dalam kampanye BDS.


Tanggapan terhadap BDS menunjukkan dampak besar gerakan ini terhadap aliran modal ke Israel. Upaya boikot produk perusahaan Israel atau perusahaan global yang terafiliasi dengan Israel dinilai bisa berhasil. 


"BDS bukan sekadar propaganda atau pendirian moral. Hal ini mencakup dampak dukungan material terhadap apartheid yang sedang berlangsung dengan menekan pemerintah dan perusahaan untuk menarik dukungan politik dan keuangan atau mengambil risiko kerugian ekonomi," katanya. 


Di Indonesia, gerakan BDS mendapatkan dukungan dari Kementerian Perindustrian. Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Putu Juli Ardika menyatakan bahwa kampanye boikot terhadap produk Israel dianggap sebagai peluang positif untuk memperkuat industri dalam negeri.


“Di sosial media ada ajakan-ajakan untuk memboikot beberapa produk, ya mudah-mudahan itu akan menjadi momentum yang bagus bagi kita untuk memperkuat pengetatan arus barang karena kita masih impor beberapa produk,” katanya, dikutip dari Antara, Selasa (7/11/2023).