Cerpen

Aku, Preman, dan Kalimat Tauhid 

Ahad, 25 Agustus 2024 | 16:30 WIB

Aku, Preman, dan Kalimat Tauhid 

Ilustrasi (Freepik)

Cerpen: Isti Kamilatunisa
"Aku di ruang ICU Rumah Sakit kota" 


"Jika berkenan kemarilah, aku membutuhkanmu" 


"@Roni" 

 

Tiga pesan beruntun yang dikirim oleh kontak rumah sakit kota menuju ponselku itu membuat air muka ibu berubah seketika. Entah apa yang sedang memporak-porandakan wajah periang itu. Yang jelas, tanpa ampun ibu menggenggam tanganku dan menarikku menuju parkiran motor. Ia memakaikan helm ke kepalaku tanpa memperhatikan jilbabku yang ala kadarnya, bahkan lebih panjang salah satu sisinya. Tentu aku mengeluh panjang lebar mengapa aku harus cepat-cepat menemui orang yang tak kukenal. Namun jawaban bernada oktaflah yang kudapatkan darinya. 

 

"Bergegas, Nisa. Temui dia di ruang ICU! Dia... Dia penyambung hidupmu. Pendonor hatimu waktu itu" 

 

Waw! Setelah dua bulan aku meredam rasa ingin tahuku yang begitu liar. Rasa ingin tahu akan manusia mana yang rela mendonorkan hatinya untukku, sampai beberapa kali lipstik ibuku patah akibat ulahku yang sok menginterogasi ibu agar dia mau membocorkan siapakah pendonor itu. Mengapa pula pendonor itu tak mau jika aku mengenalnya. Parahnya lagi ia mengikat janji dengan ibu untuk merahasiakannya, sehingga rahasia itu tak akan bocor ila yaumil qiyamah. Namun akhirnya, keadaan darurat pagi ini memaksa ibu untuk mengatakannya demi melihatku bergegas menemui si pendonor hati.  


Ruang ICU yang suram. Ia menyambutku dengan sayup suara alat medis serta bau obat-obatan yang menyeruak menusuk hidung. Seorang perawat memanduku menuju sebuah bilik berbungkus tirai biru muda, tempat pasien mempertahankan hidupnya. Tirai itu perlahan terbuka, dan bagaimana langkahku tak terhenti melihat sosok lelaki yang terbaring di sana. Lelaki yang kata ibu telah mendonorkan hatinya untukku. Aku mengenalnya. Ya, aku kenal dia meski tidak tahu namanya. Dia adalah preman yang menculikku dua bulan silam. Lalu, dia mendonorkan hatinya untukku? 

*

 

Malam itu, 

 

"Krieet..." Suara pintu dibuka dari luar, dan masuklah seorang lelaki berbadan tinggi besar berparas beringas dengan celana jeans sobek di bagian lututnya. Ia tertatih-tatih memasuki rumah dengan berpegangan dinding. Tangan kirinya memegangi perut, sedangkan tangan kanannya berlumuran darah. 

 

Napasku tertahan demi melihat pemandangan itu.  

 

"Ternyata kau sudah sadar gadis bodoh. Haha, rupanya efek bius itu sudah hilang. Mengapa menatapku? Hatimu pasti bersorak riang melihatku remuk seperti ini. Sialan! Kerumunan masa memukuliku habis-habisan…."

 

Umpatan demi umpatan ia lontarkan hingga membuatku sedikit bergeser untuk menghindari air liurnya yang berjatuhan. Setelah puas, ia mendekatiku lalu duduk di lantai tanah sekitar dua meter di hadapanku. Aku masih terdiam menatapnya.   

 

"Cepatlah, jangan buang-buang waktu. Hubungi ayahmu lalu katakan bahwa aku meminta uang tebusan untuk mengembalikanmu. Dari tadi aku tidak menemukan ponselmu. Di mana kau menyembunyikannya? Kau menelannya?"

 

Sesuatu yang wajar bukan, jika para preman memperketus ucapan mereka. Dan adalah suatu fakta, bahwa orang yang rakus dan terburu-buru itu sering tidak memperhatikan hal-hal kecil. Padahal ponsel itu ada di dalam tas. Tepatnya di buku agenda yang memiliki sampul dengan resliting, kuselipkan di dalamnya. Tetap saja ia tak menemukannya.  

 

Jika saja kondisinya tidak seperti orang-orangan sawah dipatuk pasukan walet, pasir dalam genggamanku ini pasti telah mengenai kedua matanya. Namun melihatnya dalam kondisi mengenaskan, bagaimana aku tega melakukannnya. Aku menghela napas pelan. Dengan kepala masih sedikit pening, aku bergegas merengkuh tasku. Tentunya setelah preman itu melepaskan lilitan rantai pada kakiku. Namun bukan ponsel yang kukeluarkan, melainkan kotak kecil P3K.  

 

"Jangan coba-coba menipuku gadis bodoh. Aku menyuruhmu mencari ponsel. Untuk apa benda itu? Memukulku? Hah, jangan mimpi!" 

 

Hah? Ia menyamakanku dengannya yang hanya bisa memukul? Dasar preman menyebalkan. Padahal, aku hanya ingin mengobati lukanya.   

 

"Ayolah, kali ini saja. Tolong percayalah padaku. Aku janji akan menelpon ayahku. Kau boleh memukulku, menamparku, atau apapun itu jika aku melanggarnya. Tapi sebelum itu, biarkan aku mengobati lukamu dan izinkan aku shalat isya sebentar."  

 

Aku berjalan dengan lutut mendekatinya. Ia menatapku penuh selidik, namun akhirnya mengangguk pasrah. Aku mulai membersihkan lukanya dengan tisu dan air mineral. Lima menit kemudian, luka-luka itu telah sempurna berbalut perban termasuk telapak tangannya yang tergores benda tajam cukup dalam.  


Saat aku masih memegang tangannya, kuperbaiki posisi dudukku. Kuletakkan telapak tangan kanannya di atas telapak tanganku, lalu perlahan kucium punggung tangannya. Bagaimanapun juga, ia orang lebih tua yang harus kuhormati.

 

"Istirahatlah, jangan banyak bergerak. Di mana kamar mandinya? Aku ingin berwudhu."  

 

Kusodorkan nasi goreng hangat di sampingnya. Sebelum berwudhu tadi, aku sengaja melihat-lihat dapur. Bukan, bukan memasak. Hanya menggoreng ulang bekal nasi goreng yang kubawa agar hangat. "Maaf jika aku lancang. Aku tahu kau pasti belum menyantap makan malammu. Makanlah." Kulontarkan senyum ramah padanya.   

 

Aku melaksanakan shalat isya dengan sajadah dan mukena yang kubawa. Setelah shala, aku menoleh pada preman itu. Posisinya dan posisi piring itu tetap sama, tak bergeser sesentipun. Nasi goreng juga masih utuh. Hanya asapnya yang hilang.   

 

"Kenapa tidak dimakan?"  

 

"Aku tidak mudah tertipu gadis bodoh. Lebih baik aku kelaparan daripada aku mati keracunan."  

 

"Baiklah, jika ada racun di nasi ini, mari kita memakannya bersama-sama. Dan mungkin kau benar, aku memang bodoh. Bisa-bisanya aku menyuruh orang lain makan sendiri dengan tangan kanan yang tidak bisa digerakkan."   

 

Dasar lelaki ini. Selalu saja memandangku sebagai pengecut. Tak bisakah ia menaruh meski hanya sebiji sawi prasangka baik padaku? 

 

Aku memakan sesendok nasi itu terlebih dahulu. Sebagai pembuktian. Barulah sesendok berikutnya kudekatkan ke mulut lelaki itu. Akhirnya ia mau memakannya juga.   

 

Suasana lengang sejenak, aku masih menyuapinya. Namun tiba-tiba di tengah malam itu, dari arah depan pintu, terdengar sorak suara dan gemuruh langkah kaki yang kian mendekat. Kami bersitatap, nasi goreng itu kuletakkan kembali bahkan sebelum termakan separuhnya. Preman itu kemudian berdiri dengan bantuanku yang memapahnya sembari memasang pandangan waspada. Dan sebelum kami tahu apa sumber suara itu, sebelum kami dapat memastikan kami dalam kondisi aman, pintu reyot rumah preman itu hancur berkeping-keping bersamaan dengan dobrakan gerombolan masa yang beribu kali lipat lebih beringas daripada preman itu. 

 

Api obor dikobarkan, golok, celurit, serta tongkat kayu diacungkan. "Hancurkan preman! Amankan kampung kita!" Sorakan masa brutal memenuhi seluruh ruangan, membuatku merapatkan kedua tangan dan telinga. Sedangkan umpatan preman di sampingku telah meluncur entah yang keberapa kalinya.  

 

Ya Rabb, mengapa jadi seperti ini? Semakin detik mereka semakin brutal, membuat keadaan semakin pelik. Perdebatan preman itu dengan gerombolan masa mulai memanas. Situasi tersebut menguntungkanku yang tidak menjadi pusat perhatian sehingga aku bisa meraih ponselku untuk menelpon polisi. Secepatnya.  

 

Ketika seorang di antara mereka mulai melempar potongan kayu yang syukurnya berhasil ditangkas oleh preman itu, disaat itu pula sirine mobil polisi terdengar. Seketika gerombolan masa itu ricuh tak karuan. Ada yang lari tunggang langgang, ada pula yang tetap nekad menyerang kami yang telah tersudut di pojok ruangan. Situasinya begitu rumit. Aku tak tahu harus bergerak kemana, harus meminta perlindungan siapa. Dan siapa yang mengira jika diantara gerombolan masa itu ada yang membawa pistol. 


Aku tidak mampu menguasai situasi, dan... "Dorr" 

 

Allah... Kulihat tubuhku telah bersimbah darah, lalu menghitamlah dunia tanpa memberiku aba-aba. 

 

***

Empat bulan telah usai. Kini, di ruang berbau obat inilah aku dan preman itu. Kehidupan dalam penjara terlalu keras untuknya yang baru saja merelakan sebagian organ hatinya untuk orang lain. Ya, orang itu adalah aku ketika peluru panas menembus organ hatiku. Akibat efek samping donor hati itulah, gangguan empedu ia alami dan mengantarkannya pada pertarungan hidup-mati bertemankan alat yang tak henti-hentinya mengeluarkan bunyi.  

 

Hingga ia sadar dan tersenyum tipis melihatku di sampingnya. Namun hanya sesaat, sebelum layar monitor menunjukkan detak jantungnya yang semakin melemah. 

 

"Biar kupangggilkan dokter" 

 

"Jangan"  

 

"Kau ini bagaimana!" 

 

"Jangan kau panggil. Dengarkan aku gadis bodoh!" 

 

Tangannya erat menggenggam tanganku. Dengan napasnya yang mulai terengah-engah, ia seakan ingin mengatakan sesuatu untukku. Hanya untukku. 

 

"Hatiku... adalah hatimu. Tolong jaga. Sekarang aku tahu… bahwa… Tuhanmu... adalah Tuhanku. Maka tolong antar aku." 

 

Ya, aku tahu. Aku paham apa yang dia diinginkan. Kugenggam lembut tangannya, kubisikkan kalimat-kalimat yang pantas ia terima, sedang bibirnya berusaha meniru sekuat tenaga. Sampai pada detik yang telah ditentukan yang tak satu makhluk pun mampu membuat pilihan. Layar monitor di sampingnya menampilkan garis lurus seiring purna ia mengucapkan,  

 

"Laa ilaaha illallaah." 

 

Isti Kamilatunisa, santri Pondok Pesantren Nurul Ummah Putri Yogyakarta.