Cerpen

Surat untuk Kusrin

Ahad, 23 Juni 2024 | 10:00 WIB

Surat untuk Kusrin

Ilustrasi (Freepik)

Cerpen: Susanto
"Kulanuwun..."


Suara dari luar rumah terdengar. Dengan cepat Aqil, bocah kelas dua sekolah dasar itu membukakan pintu. 

 

"Mangga, Pak," kata Aqil, anak Kusrin, penarik ojek itu. Dengan cepat seorang berbaju orange itu mengulurkan sebuah surat beramplop cokelat kepada Aqil. Tak terlalu tebal, tapi tak terlalu tipis surat itu. 

 

"Untuk bapak ya, Qil," kata orang yang sudah sering datang sambil membawa paketan ke rumah kayu di pedukuhan perbukitan itu. 


Aqil masuk ke dalam rumah dan langsung memberikan surat itu kepada Bapak Tua, sebutan akrab panggilan kakek di desa pegunungan yang dulu konon menjadi perbatasan wilayah Kerajaan Majapahit dan Pajajaran.  

 

Namun berbeda dengan hari lain saat menerima paket, surat dari petugas pos membuat raut muka AQil yang masih polos itu murung. Apalagi anak SD yang sudah mulai lancar membaca. Ia menemukan kepala surat bertuliskan 'Pengadilan'. 

 

"Surat Pengadilan Pak. Surat panggilan untuk bapak," kata Aqil kepada kakeknya. 

 

Dengan cepat, sang kakek langsung melihat surat tersebut. Dengan cepat ia meraih kacamata plus di sela dinding kayu rumahnya tersebut. Ia membaca dengan jelas perihal hingga isi surat tersebut. 

 

"Kalau bapak dihukum, Aqil ikut bapak tua," kata Aqil, bocah kelas dua Sekolah Dasar itu kepada Kusrin seraya berlari memeluk kakeknya yang akrab ia sebut 'bapak tua'. 

 

Saat adegan itu terjadi Kusrin baru saja sampai di ambang pintu rumah. Peristiwa itu mengagetkan Kusrin yang baru saja pulang menarik ojek. Ia bertanya-tanya dengan cepat soal kejadian tersebut.

 

Ketika Aqil masih mendekap keras kakeknya yang berdiri mematung, perlahan Kusrin masuk ke rumahnya yang masih berlantai tanah. Ia saling bertatap dengan bapaknya warna rambutnya telah kelabu.


Tatapan dua lelaki yang telah berjalan tiga puluh tahun itu sungguh akrab. Mereka saling mengeja pembicaraan dalam tatapan. Tak terkecuali soal perihal peristiwa siang itu. Namun hal itu belum dimengerti Aqil. 

 

Pertanyaan itu terjawab setelah bapaknya yang telah berusia kepala enam itu menyodorkan sepucuk surat yang sudah terbuka. 

 

"Bapak nggak dihukum kan, Pak?" kata Aqil sambil terisak seraya berpindah pelukan ke Kusrin. 

 

Anak dusun di perbukitan itu hanya tahu dari televisi bahwa pengadilan adalah tempat diadilinya para penjahat. Ia dengan jelas mengeja nama bapaknya di atas amplop cokelat itu.  

 

"Nggak Qil, bapak di rumah saja sama bapak tua," katanya menenangkan. Tak terasa dari dua sudut matanya dingin mengalir air mata. 

 

Ya, sampul amplop cokelat jelas terbaca 'Kepala Pengadilan Agama'. Selain itu nama Kusrin tertera di sana. Ada pula, nomor perkara dan tanggal sidang.


Ya, memang benar itu surat dari pengadilan, tetapi bukan surat panggilan sidang untuk perkara kejahatan yang dilakukannya. Tetapi surat panggilan sidang cerai pertamanya. Sidang cerai pertama dengan isterinya Siti yang kini jadi tenaga kerja di Taiwan. 

 

"Bapak nggak salah. Bapak nggak akan dihukum!" kata Kusrin pada Aqil yang masih sesenggukan. 


Namun Aqil sudah terlanjur memeluknya. Ia masih saja sesenggukan, matanya sembab. Kusrin merasa seluruh badan badannya lemas. Bapaknya yang melihat itu putar balik berjalan menuju dapur tanpa bicara. Kusrin dan Aqil masih berpelukan. 

 

***

 

"Jujur saja Rin, kalau kamu pakai uang milik isterimu itu," kata bapak pada Kusrin. 

 

Pembicaraan itu dilakukan setengah berbisik di antara bapak dan anak itu. Kusrin baru saja menidurkan Aqil di kamarnya. 

 

"Pak, saya pakai uang sebanyak itu untuk apa? Demi Allah, demi Rasulullah saya tak foya-foya dengan uang isteri yang bekerja di sana. Apalagi bapak juga tahu kalau saya juga tetap narik ojek usai pulang kerja di madrasah," kata Kusrin. 

 

Kusrin menjelaskan sebagai tenaga honorer di madrasah yang didirikan kiai kampung di desa perbukitan itu, penghasilannya tak seberapa. Untuk itulah untuk tambahan uang jajan Aqil dan uang rokoknya ia biasa narik ojek usai pulang dari madrasah. 

 

Ia pun melakoni hal itu sudah lama sejak sebelum isterinya pergi menjadi buruh migran di Taiwan. Penghasilan Kusrin sebagai tenaga honorer yang pas-pasan, untuk tidak menyebut sedikit, itulah yang disebut-sebut menjadi pemicu sang isteri bekerja di luar negeri. 

 

"Pak, kiriman dari si Siti itu sudah langsung terpotong untuk angsuran bank untuk keberangkatan Siti. Karena memang untuk Siti memilih tidak potong gaji kerja untuk pembayaran ke agen TKI," kata Kusrin. 

 

Sang bapak hanya diam duduk mematung di hadapannya. Kusrin pun terdiam. Padahal berulang kali tema dan persoalan yang sama menjadi pembicaraan dua lelaki itu. Kusrin sejak sebulan kemarin telah pulang ke rumah orang tuanya kembali. Sebelumnya ia tinggal bersama mertuanya di desa tetangga sebelum cekcok dengan isterinya yang pulang cuti kerja terjadi sebulan lalu.

 

"Masak bapak, kepada anak sendiri tak percaya?" kata Kusrin menegaskan. 

 

***


Dua tahun tak bertemu isteri yang bekerja di luar negeri bukanlah waktu yang sebentar. Tak ayal jika lelaki normal seperti Kusrin mendamba bermanja dengan isterinya. Hasratnya yang selalu ditahan selama isteri berada di luar negeri selalu ditahannya. 

 

"Kita saling menjaga masing-masing. Kamu di sana bekerja dengan baik, di sini aku juga bekerja dengan baik merawat Aqil. Aku percaya kamu dan kamu juga harus percaya aku sebagai suami isteri," kata Kusrin ketika suatu malam yang memaksanya mengikhlaskan sang isteri bekerja di luar negeri. 

 

Sebagai orang yang pernah jadi santri di pesantren desa tetangganya, Kusrin tahu alur waktu bagaimana siklus biologis bulanan isterinya. Sejak ia menikah ia hafal betul kapan saat isterinya awal dan akhir menstruasi. Berkat belajar dari kitab fiqih yang diajarkan Kiai Ali, Kusrin tahu bagaimana ia berhubungan badan tetapi tidak hamil. Masa subur dan tidak subur bagi wanita sangat dihafalnya. 

 

Tak terkecuali soal biologis, soal fiqih rumah tangga, adab suami isteri juga ada di luar kepala Kusrin. Baginya yang wajib memberi nafkah lahir batin adalah suami. 

 

"Jadi ketika dirimu bekerja itu statusnya bukan yang utama. Statusmu sebagai isteri adalah mengabdi kepada suami sejak bapakmu berakad ijab qabul denganku," ujarnya. 

 

Secara tak langsung sebenarnya Kusrin ingin membentengi isterinya dengan godaan dan angin surga fana di luar sana. Apalagi ia pernah dengar dari temannya, bahwa di Taiwan sana, para pekerja ada kelompok pekerja yang suka hura-hura di musim libur kerja. 

 

"Jaga niatmu untuk memperbaiki ekonomi keluarga. Untuk modal di hari tua, untuk modal sekolah Aqil. Jangan goyah tergoda dengan hal-hal yang tak jelas di luar sana. Jangan mau kenikmatan sesaat," katanya menasihati isterinya.


Mendengar itu Siti yang hanya lulusan Kejar Paket C hanya menganggukkan kepala.

 

Dua tahun sudah Kusrin menjaga imannya sebagai lelaki. Tak heran jika malam kedua, ia pun mulai mendekati isterinya. Namun Siti tak menanggapi. Wajahnya murung seperti berselimut mendung. Kusrin dengan cepat menangkap gelagat itu. 

 

"Ada apa Siti?" tanyanya. 


Namun sang isteri hanya terdiam. Bahkan di ranjang tidur pun Kusrin hanya dipunggungginya. Menatap langit-langit amar, Kusrin gelisah. Meskipun ia hafal dalil soal kewajiban isteri kepada suami, namun ia bukanlah tipe santri yang suka mengumbar dalil. 

 

Ternyata percakapan suami dan isteri di hari berikutnya hingga dua minggu penuh tak terjadi sebagaimana harapan Kusrin. Siti hanya menjawab pertanyaannya sekenanya. Bahkan selalu saja Siti menghindar. Di siang hari ia lebih suka pergi belanja ke pasar, berkunjung teman sekolahnya hingga berbincang dengan ibu dan tetangganya. 

 

"Capek mas, istirahat tidur saja," katanya singkat sebelum membenamkan dirinya ke tempat tidur. 

 

Begitu pun ketika hendak berangkat lagi, Siti hanya berjabat tangan seperti biasa. Ia hanya memeluk Aqil seperlunya. Di depan rumah sebuah minibus travel telah menjemputnya bersama koper besar bawaannya. Sejak itulah Kusrin paham ada yang tak beres dengan isterinya.

 

***

 

"Pak Kusrin, sampeyan sudah tahu belum apa yang sedang ramai dibicarakan orang-orang kemarin," kata Yuni, rekan kerja di madrasah itu. 

 

"Ada apa Bu Yuni?" tanya Kusrin. 

 

Sesaat kemudian, Bu Yuni menunjukkan supaya Kusrin melihat tampilan komputer di mejanya. Dari akun media sosial facebook-nya itu, Kusrin melihat sosok perempuan yang tak asing dengannya. Dalam tampilan status facebook itu terlihat seorang perempuan sedang dipangku berangkulan dengan seorang lelaki yang tak dikenalnya. 

 

Dua sejoli itu berfoto dengan berbagai adegan mesra. Mata Kusrinpanas. Ada yang menggelegak di dadanya. Perempuan itu adalah ibu dari anaknya. Isterinya sendiri. Siti yang baru saja kembali bekerja dua minggu lalu di luar negeri. 

 

"Itu ibunya Aqil bukan, Pak?" tanya Bu Yuni. 

 

Kusrin seolah tak mendengar pertanyaan itu. Kemudian ia berlalu begitu saja meninggalkan ruangan. Sesaat kemudian dari dalam ruangan terdengar suara raungan motor Win 100 milik Kusrin. Kusrin pergi entah ke mana. Beruntung saat itu anak-anak sekolah telah pulang. 


Malam hari setelah kejadian itulah, Kusrin pamitan kepada mertuanya untuk kembali ke rumah orang tuanya bersama anaknya Aqil. 

 

"Saya kembalikan Siti ke bapak. Ia sepertinya sudah tak mau lagi taat kepada saya. Saya sudah tak ia anggap sebagai suaminya," kata Kusrin singkat sambil membawa tas penuh isi baju. 

 

Digandengnya Aqil malam itu dan dinaikannya Aqil ke motornya. Ia pamit pulang. Bapak dan ibu mertuanya juga tak menjawab apa pun. Mereka terdiam dan hanya mematung, ketika sepeda motor yang ditumpangi menantu dan cucu mereka hilang di belokan gang. 


***

 

Kini surat panggilan kedua dari Pengadilan Agama itu sudah di tangan Kusrin kembali. Aqil sudah paham bahwa bapaknya tak akan dipenjara. Apalagi surat beramplot cokelat itu tak jatuh ke tangan Aqil. 

 

Pagi itu Kusrin masih duduk di bangku panjang depan rumahnya. Aqil yang mengenakan seragama putih merah mencium tangannya, berpamitan. Agil sudah pindah sekolah. 

 

Ia tak bisa berkata-kata ketika Aqil pamitan berangkat sekolah diantar oleh ibunya. Anak semata wayang yang harusnya diantar Siti, justru diantar neneknya. 


Dulu, saat melihat hal itu dari orang lain, ia merasa janggal dan aneh, tetapi kini hal itu terjadi pada dirinya sendiri. Termasuk soal lelaki yang digugat cerai sendiri oleh isterinya di luar negeri. Dulu ia hanya mendengarnya dari desa tetangga, desa awal mula para perempuan menjadi pembantu rumah tangga di Saudi. Namun ia kini mengalaminya sendiri. 

 

Sosok Jikin yang menjadi makelar TKI sekaligus makelar pengurusan cerai sepihak dari TKI mungkin tinggal cerita. Namun kini tergantikan sendiri oleh sahabatnya sendiri yang dulu sebangku SD, Sarno. 

 

"Biasanya kalau ada yang mau menggugat cerai suami, ada keluarganya yang menghubungiku. Nanti minta diuruskan segala dokumennya. Mereka intinya ingin semua beres, meskipun suami tak tahu kalau ia sedang digugat cerai isterinya. Kadang ada yang melawan, tetapi ada pula yang pasrah dan tahu-tahu kalau surat dudanya sudah sampai ke rumah," kata Sarno suatu kali bertemu dengan Kusrin. 

 

Merenungi kisah hidupnya, Kusrin tak habis pikir. Ia memperistri Siti yang berstatus janda satu anak itu berniat untuk menolongnya. Ia ingin mengikuti sunah Nabi, begitu ia katakan kepada orang lain. Padahal sejak awal memang cinta pertama pada Siti, namun tak kesampaian. 

 

Kini Kusrin benar-benar hanya bisa pasrah dengan kondisi tersebut. Namun yang tak bisa dipercaya dan tak bisa diterimanya adalah tuduhan yang diajukan isterinya untuk menggugat cerai dirinya. Kusrin tak pernah bekerja. Kusrin hanya makan uang kiriman dari isterinya untuk foya-foya. 

 

Hal itu pun yang diajukan ke pengadilan kepadanya hingga sang bapak mempertanyakannya berulang kali. Padahal kenyataannya justru sebaliknya. Sitil ah yang kini bersukaria di sana. Ketika ia sedang susah payah menenangkan Aqil yang sedang sakit ataupun lainnya. 


"Demi Allah dan Rasulullah Pak, saya tak makan uang isteri untuk foya-foya. Uang kiriman Siti itu saya berikan untuk kebutuhan Aqil saja dan bapak mertua saja," kata Kusrin kepada bapaknya. 

 

Ya, sejak ia pamit dari rumah mertuanya, rekening bank miliknya sudah diberikannya kepada ibu mertua. Tak hanya itu, seluruh detail pengeluaran pun ia catat sejak dua tahun Siti pergi ke luar negeri. 

 

"Daripada bolak balik Pengadilan Agama, mendingan kamu akui saja Rin soal uang kiriman isterimu itu. Biar cepat kelar sidangmu, biar segera cepat kamu dapatkan surat dudamu. Nanti kamu bisa cari janda lagi. Jangan khawatir banyak eks TKI teman Siti yang sudah jadi janda," kata Sarno yang menjadi makelar cerai di Pengadilan Agama itu. 

 

Mengingat itu, Kusrin hanya terdiam. Namun diam-diam tangannya mengepal dan surat panggilan kedua dari pengadilan itu diremasnya.


Susanto, Ketua LTN NU Kabupaten Banyumas Jawa Tengah, bekerja sebagai jurnalis dan bergiat di sejumlah komunitas sastra.