Opini KONFERWIL NU JATIM 2018

Tiga Tantangan NU Jawa Timur Usai Konferwil

Kam, 26 Juli 2018 | 16:30 WIB

Oleh: HM Al Khaqqoh Istifa*

Konferensi Wilayah (Konferwil) Nahdlatul Ulama Jawa Timur akan digelar di Pondok Pesantren Lirboyo, Kota Kediri, 28 hingga 29 Juli 2018. Isu seksi yang selalu muncul dalam setiap kegiatan NU seperti Konferwil, Konfercab dan Muktamar adalah  seputar  suksesi kepemimpinan. Malah untuk sesi yang satu ini kerap diwarnai dengan ketegangan antarkubu yang yang sama-sama punya jago untuk terpilih sebagai orang pertama sesuai tingkatan kegiatan tersebut.

Salah satu penyebab timbulnya ketegangan dalam Konferwil dan semacamnya adalah karena adanya tarik menarik kepentingan politik. Para broker politik atau kelompok NU politik tentu tidak ingin menyia-siakan kegiatan tersebut untuk menanamkan pengaruh, atau minimal mempunyai orang yang kelak bisa diajak bermitra untuk kepentingan politik praktis dalam spektrum yang berbeda.

Keterlibatan ‘orang luar’ sudah terjadi sejak lama, dan terus menghantui hajatan-hajatan besar NU. Bahkan dulu, Orde Baru di bawah kendali Soeharto terang-terangan ikut bermain di hampir setiap hajatan NU dengan harapan kebijakan  pemerintah didukung NU, atau minimal sepak terjang NU bisa dikontrol.

Contoh yang paling kentara terjadi pada Muktamar ke-29 NU di Cipasung, Tasikmalaya (1994). Saat itu terjadi persaingan panas antara kubu Gus Dur yang didukung oleh para kiai dan NU kultural di satu pihak, dan Abu Hasan yang disokong  penuh oleh penguasa di pihak lain. Gus Dur akhirnya keluar sebagai pemenang, namun persaingan masih berlanjut. Kubu Abu Hasan menggelar muktamar tandingan untuk menumbangkan hegemoni Gus Dur. Tapi akhirnya kebenaran yang tak bisa dihambat. Lambat laun PBNU abal-abal  di bawah sopir Abu Hasan layu sebelum berkembang dan hilang tanpa jejak.

Dalam tinjauan politik, NU memang aset yang begitu berharga. Massa NU yang bejibun dengan ketaatan yang luar  biasa pada pemimpinnya (kiai/ulama), tentu merupakan social capital yang cukup ampuh untuk mendulang suara dalam ajang politik praktis. Dan itulah magnet yang tidak pernah habis menjadi incaran para broker politik.

Politik memang penting. Sebab, semua kebijakan di negeri ini lahir dari proses politik. Bahkan orang bisa beribadah dengan tenang, salah satunya karena imbas kebijakan politik. Karena itu, tidak arif rasanya jika NU membersihkan diri dari anasir politik. Dengan kata lain, NU tidak haram, bahkan dituntut untuk berpolitik. Apalagi latar belakang berdirinya NU juga dipicu oleh kepentingan politik. Dan dalam perjalanannya, NU pernah mengalami pasang surut terlibat dalam dunia politik praktis.

Kendati secara kelembagaan NU  harus steril dari politik, namun  warganya tidak boleh anti politik. Skema politik NU diwujudkan dengan membiarkan kader-kader NU masuk ke berbagai partai politik yang ada. Sehingga aspirasi politik warga NU bisa masuk dari berbagai pintu. Itulah artinya  NU ada di mana-mana tapi  tidak ke mana-mana.

Konferwil NU Jawa Timur, tentu juga tidak luput dari bidikan kelompok NU politik. Apalagi jumlah penduduk provinsi ini merupakan terbesar ketiga di Indonesia, dan itu mayoritas adalah nahdliyin atau warga NU. Faktanya para pengurus dan tokoh NU sudah punya kecenderungan politik sendiri-sendiri dan berafiliasi kepada kekuatan politik tertentu. Seandainya kepentingan politik itu tak bisa dihindari dalam Konferwil, khususnya dalam pemilihan Ketua PWNU Jawa Timur, maka seharusnya tidak mencederai kebersamaan dan ukhuwah nahdliyah. Prinsipnya, kalaupun tidak bisa bersatu dalam kebersamaan, maka tetap bersama dalam perbedaan. Artinya jika kebersamaan untuk mencapai kata sepakat tidak bisa dicapai, maka kebersamaan dalam perbedaan harus jadi pilihan.

Tiga Agenda Mulia
Tapi yang lebih penting dari sekedar pemilihan ketua adalah usai Konferwil nanti. Saat ini cukup banyak persoalan yang mengemuka, dan perlu mendapatkan penanganan  yang serius dari ketua dan  pengurus terpilih nanti. Setidaknya ada tiga persoalan yang harus disikapi. Pertama adalah terkait  konsolidasi. 

Diakui atau tidak, Pilkada Jawa Timur akhir Juni lalu, telah melahirkan polarisasi di kalangan nadhliyin. Secara psikologis, keberpihakan pada masing-masing calon gubernur (Khofifah dan Gus Ipul) masih terjadi di tingkat pengurus NU. Kekalahan yang dialami Gus Ipul tentu sedikit  banyak telah menggores luka di hati pendukungnya. Anjuran dan imbauan para kiai agar warga dan pengurus NU bersatu usai Pilakda Jawa Timur digelar, tidak serta merta bisa menghapus luka itu dalam sekejap. Nah, konsolidasi dibutuhkan untuk menyatukan warga dan pengurus NU yang terlanjur terbelah oleh peristiwa politik tersebut. Dan itu menjadi pekerjaan tersendiri bagi ketua terpilih nanti.

Kedua, terkait dengan persoalan sosial yang mendera nahdliyin. Seperti diketahui bahwa angka kemiskinan di Jatim adalah tertinggi di Indonesia. Karena warga NU di sini adalah mayoritas, maka tidak terlalu sulit menghitung bahwa penyandang kemiskinan itu adalah kebanyakan nahdliyin.

Oleh karena itu, tugas kedua ketua terpilih adalah mengurangi angka kemiskinan dengan program-program yang langsung bersentuhan dengan kehidupan masyarakat. Tentu untuk yang ini, PWNU Jatim tidak bisa sendirian, karena tidak punya anggaran dan kekuatan penunjang yang memadai. Tapi cukup banyak  stake holder, termasuk pemerintah, yang bisa diajak kerja sama untuk melakukan itu. 

Pemberdayaan ekonomi masyarakat, sesungguhnya sangat penting, dan perlu mendapatkan perhatian bahkan prioritas bagi PWNU Jawa Timur ke depan. Sebab, selain mengantisipasi sinyalemen Sayyidna Ali bahwa kemiskinan mendekati kekafiran, pemberdayaan ekonomi juga dapat mendorong kemandirian masyarakat, bahkan bisa melahirkan kesejahteraan. Kemandirian ekonomi berkelid kelindan dengan kemandirian politik. Teorinya begini: jika masyarakat secara ekonomi sudah mandiri, maka godaan-godaan pragmatis dari kekuatan politik tidak akan mudah  dilayani. Sebab, untuk apa mereka mengejar recehan, sementara kebutuhan materi sudah tercukupi. Dengan kondisi seperti itu, maka keterlibatan masyarakat (warga NU) dalam politik akan berjalan landai. Tidak terlampau fanatik hingga menimbulkan perpecahan.

Ketiga adalah radikalisme. Inilah tantangan beriktunya yang harus diantisipasi oleh ketua terpilih PWNU Jawa Timur. Gerakan radikal saat ini masih berjalan. Kendati organisasinya secara resmi sudah dibubarkan, tapi aktifitasnya masih eksis. Mereka sangat militan melakuan progapganda di tengah-tengah masyarakat. Selain aktivis yang organisasinya sudah bubar itu, masih ada sejumlah elemen radikal yang  berbasis pendidikan (agama) namun tingkat radikalitas dan militansinya sama.

Ketiga persoalan tersebut adalah tantangan yang harus segera disikapi oleh ketua terpilih. Memang, untuk soal kemiskian dan redikalisme merupakan tugas segenap bangsa Indonesia untuk mengatasinya. Namun bagi ketua terpilih PWNU Jawa Timur, tentu lucu jika membiarkan keduanya merajalela. Sebab, ketika amanah sudah diberikan, maka saat itu juga tanggungjawab (tugas) ada dalam genggaman.

Selamat  ber-Konferwil. Semoga sukses. 

*Adalah kader NU dan Ketua Umum Inkopsim (Induk Koperasi Syirkah Muawanah)