Opini

Menelisik Psikologi Pelaku Judi Online

Rab, 3 Juli 2024 | 12:24 WIB

Menelisik Psikologi Pelaku Judi Online

Ilustrasi judi online (Freepik)

Fenomena judi online (judol) belakangan ini menarik dicermati. Banyak fakta terungkap. Secara ekonomi, omzetnya mencapai 2 kali lipat APBN. Secara sosial, banyak ekses yang ditimbulkan. Mulai percekcokan antar kawan, perceraian, tawuran, hingga kriminalitas tingkat berat. Anak bunuh orang tua. Orang tua aniaya anak. Istri membakar suami. Suami menyakiti istri, dan lain-lain. 

 

Uniknya, para pelaku datang dari berbagai latar belakang. Ada politisi, pejabat, ASN, pedagang, artis, mahasiswa, pelajar, hingga rakyat biasa seperti buruh, petani, dan lainnya. Kenapa fenomena ini muncul? Kenapa judol disenangi banyak orang? Apa yang menarik dari judol ini? 

 

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, artikel ini mencoba mengulik sisi psikologi para pelaku judol. Meskipun "judi" tetap akan menjadi "kebutuhan" sebagian manusia sepanjang hayatnya. Tetapi fenomena judol ini unik. Seunik kemudahan memanfaatkan teknologi informasi. Mudah, simpel, ringan, individual, dan menjanjikan "harapan". 

 

Mudah, setiap orang bisa akses. Kapanpun dan di manapun. Yang punya smartphone, punya kesempatan ikut judol. Simpel, karena tinggal klik jadi, tidak perlu effort. Ringan, karena ragam judol masuk semua kalangan. Individual, karena bisa dilakukan secara rahasia. Diam-diam. Tak perlu datang ke arena judi manual. Nah, yang bikin menarik, seperti judi klasikal, judol menjanjikan harapan, meski semu. 

 

Bagaimana psikologi para pelaku judol? Terdapat level psikologi para pelaku judol. Ada yang kelas berat sebagai pecandu. Ada yang level middle atau menengah. Ada pula yang level ringan, kelas iseng-iseng berhadiah. Untuk pecandu, mereka tidak memiliki "takaran" moral dan nilai. Hidupnya bergantung pada nasib dari hasil judol. Apapun yang dimiliki bisa dipertaruhkan. Keluarga, aset kekayaan, pekerjaan, status sosial, bahkan nyawa sekalipun.

 

Bagi pelaku level menengah masih menyisakan moralitas dan nilai. Mereka sadar bahwa judol haram. Dilarang hukum dan norma sosial. Hanya saja, mereka menyimpan hope bahwa dengan ikut judol siapa tahu dapat mengubah nasib. Menjadi kaya tiba-tiba. Meskipun kadang muncul perasaan berdosa. Kadang sadar, tetapi masih sering penasaran bisa menang.

 

Sementara pelaku level ringan sering karena iseng. Misalnya dipengaruhi faktor pergaulan. Ada temannya yang bercerita menang judol. Lalu dia tertarik untuk mencobanya. Diam-diam dengan smartphone atau komputer. Intinya, pelaku level ringan hanya ingin mencoba karena penasaran. Ingin tahu dan membuktikan judol. Namun, level ringan inilah yang justru sebagai sebab menjadi pecandu.

 

Bagaimana potret dari sisi internal pelaku judol? Secara umum, para pelaku dapat dilihat gejala perilakunya, diantaranya: 

 

Pertama, terpapar "delusi". Pelaku judol rerata dipengaruhi sikap ingin beruntung tanpa usaha. Bahkan bisa mencapai pada khayalan berlebih. Jika nanti menang akan beli ini, akan bangun itu, akan bisnis ini dan itu. Pikirannya dipenuhi oleh rangkaian "angan" yang sulit dinalar. 

 

Delusi (waham) adalah gap antara yang nyata dan khayalan. Sebuah kondisi ketika seseorang tidak dapat membedakan antara kenyataan dan khayalan. Kondisi ini kerap membuat penderitanya memiliki keyakinan kuat terhadap hal-hal yang tidak sesuai dengan kenyataan. Di sinilah peluang pelaku judol menyakininya. Dengan judol, masa depan cerah dapat diraih, meski sebatas khayalan.

 

Kedua, self esteem tidak sehat. Bagi orang dengan self esteem sehat tidak akan menggantungkan pada "harapan palsu". Para pelaku judol terlihat self esteem-nya rendah (tidak sehat). Beberapa indikator seseorang dengan self esteem sehat adalah memiliki kepercayaan diri yang tinggi dan pandangan hidup yang positif.

 

Sebaliknya, pelaku judol nampak kepercayaan dirinya rendah. Kenapa? Pikirannya lebih banyak khayalan. Mengkhayal ingin mendapat duit berlimpah. Menjadi orang kaya mendadak. Artinya, tidak percaya diri dengan kemampuannya. Hasil-hasil dari pekerjaannya tidak mencukupi hidup. Tidak mampu membawa dirinya bahagia. 

 

Terkait pandangannya tentang hidup jelas tidak positif. Anggapan bahwa kekayaan yang diperoleh dari hasil judi merupakan pandangan hidup negatif. Apalagi jika dipandang dari sisi keyakinan agama. Rejeki akan mengikuti ritme usaha manusia. Di sinilah problem psikologis pelaku judol. Pandangan hidupnya negatif atas dirinya sendiri. 

 

Ketiga, resiliensi rendah. Pecandu judol memiliki ketahanan mental yang lemah. Tidak sabar ingin menjadi kaya. Apalagi efek psikologisnya. Kekalahan judol berdampak besar pada harga diri seseorang dan kesejahteraan psikologis secara keseluruhan. Siklus harapan dan kekecewaan yang terus-menerus dapat menimbulkan perasaan mutung (putus asa).

 

Tidak heran, para pecandu judol mudah stres, bahkan depresi. Muncul pula rasa bersalah dan sedih saat dirinya "hampir" menang. Kekalahan juga dapat berkontribusi pada kesehatan mental secara umum. Maka wajar judol merusak sisi kemanusiaan menjadi benar. Puncak dari gangguan mental itu muncul perasaan terasing (teralienasi). Apalagi memiliki banyak hutang dan tanggungan yang terabaikan.

 

Keempat, self efficacy (efikasi diri) lemah. Keyakinan seseorang pada kemampuannya untuk melakukan dan mengorganisasi capaian tertentu. Juga mengimplementasikan tindakan untuk mewujudkan keahlian tertentu. Keyakinan seseorang pada efikasinya dapat berkembang melalui pengalaman sukses dalam mengatasi masalah.

 

Seseorang dengan efikasi diri kuat akan tekun dalam meningkatkan usaha. Meski dijumpai pengalaman yang memperlemahnya. Sedangkan seseorang dengan efikasi diri rendah mudah goyah oleh pengalaman tersebut. Bagi pelaku judol jelas memiliki efikasi diri rendah karena kebergantungannya pada hope yang tidak jelas. Nasibnya "diadu" oleh model keberuntungan yang tidak jelas.

 

Kelima, problem kepercayaan. Penjudi online adalah orang yang tidak percaya terhadap otoritas takdir Tuhan. Tuhan telah menentukan takaran rezeki setiap orang. Hanya saja, penjudi online justru melawan arus takdir untuk mendapatkan keberuntungan. Apalagi jika dicampur dengan perilaku khurafat, seperti datang kepada dukun (paranormal).

 

Pecandu judol bisa jadi tergolong orang yang mengalami "depresi spiritual". Suatu kondisi yang membuat seseorang kehilangan keyakinan terhadap Sang Pencipta. Rejeki yang Tuhan berikan kepada hamba-Nya dianggap ilusi. Sehingga hal tersebut dapat menggiringnya tidak lagi merasa yakin akan kebesaran Sang Pencipta. 

 

Keenam, problem kognitif yang nyata. Imam Al Ghazali dalam kitab Al-Arbaiin fi Ushuliddin mengingatkan: "Ingatlah, sesungguhnya cinta dunia itu pangkal segala kejahatan". Pelaku judol menggambarkan dirinya pecinta dunia. Dia mengundi nasib untuk meraih kekayaan sebanyak-banyaknya. Tidak peduli yang dilakukan itu haram. Filosofinya, modal sedikit, untung melimpah.

 

Orang yang mencintai dunia, kata Imam al-Ghazali, sebenarnya orang yang sangat bodoh. Secara psikologis, perilaku judol memiliki problem kognitif. "Ketahuilah bahwa orang yang merasa nyaman dengan dunia sedangkan dia paham benar bahwa ia akan meninggalkannya, maka dia termasuk kategori orang paling bodoh". Wallahu a'lam. 

 

Thobib Al Asyhar, Dosen SKSG Universitas Indonesia (UI), Direktur Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Madrasah Kemenag RI.