Opini

Sistem Zonasi, Berkah atau Bukan bagi Lembaga Pendidikan NU?

Jum, 21 Juni 2019 | 15:15 WIB

Sistem Zonasi, Berkah atau Bukan bagi Lembaga Pendidikan NU?

Ilustrasi: pelajar MA NU Kudus menciptakan obat herbal

Oleh Muhammad Syamsudin

Sebenarnya pembahasan ini bukan termasuk wilayah kajian penulis. Namun, karena penulis sendiri juga memiliki lembaga pendidikan di bawah kendali yayasan pondok pesantren, maka penulis menjadi tergelitik untuk ikut mencermati dilematika sistem zonasi pendaftaran peserta didik baru (PPDB), khususnya dari kacamata lembaga pendidikan nahdliyin. 

Sebenarnya sistem zonasi ini masuk dalam bingkai Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 51 Tahun 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru Tahun Ajaran 2019-2020. Di dalam sistem ini, disampaikan bahwa calon peserta didik baru hanya boleh mendaftar pendidikan di lembaga pendidikan negeri yang dikelola pemerintah dalam radius terdekat dari tempat di mana ia dan keluarganya berdomisili. Dalam cakupan radius itu, peserta didik hanya dibolehkan untuk memilih 3 opsi lembaga pendidikan (negeri) yang dikehendakinya, dengan catatan selagi slot bangku masih tersedia. Jika tidak tersedia, ia lari ke mana? 

Proses seleksi penerimaan didasarkan atas pemeringkatan hasil nilai Ujian Nasional (UN) dengan pengarusutamaan pada nilai Bahasa Indonesia, IPA, Matematika, dan Bahasa Inggris. Dan jika nilai tersebut memiliki kesamaan antara satu peserta didik dan peserta didik lainnya, maka seleksi dilakukan atas dasar siapa yang lebih dulu mendaftarkan diri.

Sejauh pengamatan penulis, sejatinya berlakunya Permendikbud Nomor 5 Tahun 2018 ini memiliki banyak keuntungan. Nilai keuntungan tersebut terletak pada beberapa pokok pikiran, yaitu:

1. Siswa tidak tercerabut dari akar budaya daerah dan lingkungannya.
Beberapa waktu yang lalu, ada salah satu siswa yang biasa bersekolah di Surabaya. Kemudian tiba-tiba, ia pindah bersekolah di tempat lain di luar Surabaya. Yang mengejutkan, siswa ini ternyata tidak mampu beradaptasi dengan lingkungan baru tempat ia belajar. Misalnya, ada pelajaran Bahasa Jawa. Di Surabaya, Bahasa Jawa ini kadang sudah tidak lagi dijadikan sebagai Muatan Lokal (Mulok). Nah, di lingkungan barunya ini ada Mulok Bahasa Jawa. Akhirnya timbul kemalasan dalam belajar disebabkan tidak mampu mengikuti Mulok tersebut. Padahal, nilainya juga berpengaruh terhadap kenaikan kelas dan prestasi. Di sini timbul problem.

2. Bagaimanapun juga, setiap sekolah dengan basis minimal Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan K13, diharuskan mengembangkan dan mengadopsi kearifan budaya lokal. Namanya saja sudah berads di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, bagaimana mungkin sekolah / lembaga pendidikan tidak mengadopsi budaya daerahnya sebagai kearifan lokal? Justru bila budaya lokal dan kearifan lokal ini tidak diadopsi, yang lahir adalah citra pendidikan yang terkesan elitis. Jika berbasis budaya lokal, maka sikap dan perilaku peserta didik akan senantiasa mendapatkan kalibrasi kontrol sosial dari institusi masyarakat sekitar. 

3. Sistem Zonasi dapat memberantas kapitalisasi pendidikan. Kita tidak ingin adanya kapitalisasi pendidikan, bukan? Kita seringkali berbicara menolak kapitalisasi pendidikan, namun jarang sekali memberi solusi jawaban bagaimana agar kapitalisasi pendidikan itu tidak ada dalam dunia pendidikan kita. Sistem zonasi ini sejatinya unik. Dengan sistem zonasi, gap antara mutu lembaga pendidikan negeri daerah satu dengan lembaga pendidikan negeri lainnya tidak akan lagi terjadi. 
Meskipun pada dasarnya di satu sisi ini kurang menguntungkan bagi peserta didik yang memiliki prestasi lebih dan berhak mendapatkan pembinaan yang lebih. Namun, dampak maslahat besarnya justru pendidikan negeri ini akan beralih pada perlombaan menjaring siswa didik. Jadi, fokus mereka akan terpecah di sini sehingga harus bersaing dengan lembaga pendidikan swasta, termasuk LP Ma'arif. Dan ini sebenarnya merupakan rahmat bagi lembaga pendidikan swasta itu karena kesempatan menjaring siswa didik yang berkualitas menjadi berpeluang sama dengan lembaga pendidikan negeri. 

Sebenarnya masih banyak sisi kebaikan dari sistem zonasi itu dan hal ini tidak hanya dinikmati oleh NU. Yayasan Pendidikan Muhammadiyah pun juga akan menikmatinya. Terlebih lagi NU, mengingat NU itu memiliki banyak lembaga pendidikan di tingkat daerah bahkan kecamatan atau desa. 

Dulu, penulis pernah mengajar di sebuah desa, tepatnya di lereng Gunung Kawi, Kabupaten Malang. Saat itu, di desa tempat penulis mengajar, berdiri sebuah yayasan yang membawahi lembaga pendidikan mulai dari Raudlatul Athfal (RA) sampai dengan Madrasah Aliyah. Seluruhnya berada di bawah naungan Lembaga Pendidikan Ma’arif NU. Penulis di sini berbicara dalam lingkup desa. Jika dalam lingkup desa saja ada lembaga pendidikan setingkat SMA yang dimiliki oleh NU, bagaimana dengan di tingkat Kecamatan. Sudah barang tentu, ada lebih banyak lagi.

Alhamdulillah, semua lembaga ini mendidik siswa-siswinya dengan kapabilitas yang profesional, tidak kalah dengan lembaga pendidikan negeri, meskipun gaji guru yang saat itu pas-pasan. Bagaimana tidak? Gaji guru setiap bulannya, bayaran tertinggi sebesar Rp175 ribu pada tahun 2005. Ini adalah salah satu langkah yang fantastis. Pendidikan murah untuk generasi bangsa. 

Sedikit beringsut ke tengah Kota Malang, penulis sudah menemukan lembaga pendidikan yang memiliki cost bulanan senilai jutaan rupiah per bulan. Ini di kisaran tahun 2003-2005. Apa namanya ini bukan termasuk kapitalisasi? Padahal lembaga pendidikan tersebut berbasis negeri.

Yang negeri berlomba-lomba membangun brand image sekolah favorit berbasis modal dan status negerinya, sementara yang di desa berlomba membangun amal jariyah menyediakan peluang/kesempatan bagi siswa siswi yang tidak mampu untuk terus melanjutkan pendidikannya. Ini adalah sebuah ketidakadilan. Ketidakadilan yang lahir akibat kapitalisasi pendidikan sehingga pendapatan / gaji guru menjadi jauh dari harapan kesejahteraan. Jurang ini bisa teratasi manakala ada zonasi lembaga pendidikan. 

Walhasil, sistem zonasi PPDB 2019 ini sejatinya tergantung cara kita menilainya. Apabila kita menilai dari sisi akar kebudayaan yang tidak boleh tercerabut dari siswa didik, serta berusaha memberantas kapitalisasi pendidikan, maka sistem zonasi PPDB 2019 ini adalah rahmat. Apalagi bila kita menimbangnya dari sisi pemerataan kesempatan siswa didik. 

Kita masih ingat dengan adagium yang disampaikan mantan Mendikbud Fuad Hasan, bahwa hanya putra daerah yang lebih mengenal daerahnya. Demikian juga dengan lembaga pendidikan, hanya lembaga pendidikan daerahlah yang mengetahui akar kebudayaan mana yang harus dipertahankan demi masa depan pembangunan daerah. 

Jika masih saja terjadi gap antarlembaga pendidikan, untuk apa ada Ujian Nasional (UN). Ujian Nasional (UN) seharusnya merupakan kalibrasi, bahwa jurang kualitas pendidikan tidak sedang terjadi antarputra bangsa. Wallahu a'lam bish shawab.


Penulis adalah Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jawa Timur