Opini

Potret Buruk Penanganan Stok Garam Nasional

Kam, 3 Agustus 2017 | 10:03 WIB

Oleh Achmad Solechan
Garam sebagai salah satu komoditi pokok kebutuhan nasional selayaknya dan seharusnya ditangani secara baik, komprehensif, terukur, dan berorientasi pada kemandirian dan swasembada garam nasional. Tetapi, alih-alih bersinergi, saling mengisi, dan bahu membahu antarsemua lini kementerian, lembaga, stakeholders menuju kemandirian dan orientasi swasembada garam nasional, yang ada justru saling salip dan cari kesempatan yang tidak jelas orientasinya kecuali semata karena kepentingan jangka pendek, ego sektoral, dan berbagai keuntungan sesaat oleh sebagian kecil para pihak yang terlibat.

Pemahaman atas garam sering salah paham dan terus menerus dibiarkan dalam pemahaman yang keliru sehingga berdampak pada semua arah kebijakan nasional terkait garam. Bahwa selama ini garam nasional selalu dipresentasikan adanya garam konsumsi dan garam industri. Bahasa pembedaan dan dikotomi garam konsumsi dan industri ini membuat seluruh kebijakan pergaraman nasional terjebak bagaimana seluruh produk garam rakyat di Nusantara bisa memenuhi kedua klasifikasi dua jenis garam tersebut. Selalu digaungkan bahwa petambak garam Indonesia belum bisa membuat garam industri guna memenuhi tuntutan kebutuhan industri yang menggunakan garam kategori industri. Bahkan terakhir, dipolemikkan lagi bahwa untuk industri makanan minuman itu kategorinya masuk ke dalam garam industri bukan kategori konsumsi. Klasifikasi dan sudut pandang secara mentah pembagian kedua garam ini menjebak cara berpikir dan nalar semua masyarakat Indonesia dan justru dipakai oleh para pemangku kebijakan yang berdampak pengelolaan dan kebijakan garam nasional. Akibatnya, celah ini selalu menjadi alat dan kambing hitam atas hasil dan pengelolaan garam nasional yang tidak kunjung berkualitas memenuhi pasar garam industri.

Bahwa selama ini antara kebutuhan garam nasional dan produksi garam nasional terjadi memang tidak terpenuhi. Dari total kebutuhan garam nasional yang mencapai hampir 4.1 juta ton, pada tahun 2015 produksi garam hanya mencapai 3.2 juta ton. Pada tahun 2016 terjadi gagal panen akibat tiadanya musim panas sepanjang tahun 2016 sehingga produksi garam di tahun 2016 hanya sekitar 144 ribu ton. Sehingga nyaris selama tahun 2016 kita mengandalkan sisa stok garam yang ada. Persoalannya adalah tidak pernah ada satu kesepahaman terkait data kebutuhan garam nasional ini. Hampir semua kementerian dan lembaga memiliki pendekatan dan penetapan sendiri-sendiri terkait neraca garam nasional.

Bahwa sesuai UU No. 7 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan dan Petambak Garam sebagaimana termaktub dalam Pasal 37 disebutkan bahwa Pemerintah mengendalikan impor komoditas pergaraman dan dalam hal impor komoditas pergaraman menteri terkait harus mendapatkan rekomendasi dari menteri. Artinya seluruh pengendalian dan kebijakan impor garam sepenuhnya menjadi domain Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia (KKP RI) sebagai kementerian yang menangani sektor pergaraman. Kementerian Perdagangan tidak mungkin mengeluarkan izin impor garam sepanjang tidak memegang rekomendasi dari KKP RI. Pasal yang sangat jelas ini, akibat hasil pengklasifikasian jenis garam konsumsi dan industri, maka dijadikan celah untuk impor garam industri tanpa harus ada rekomendasi KKP RI karena industri bukan domain dari KKP RI.

Bahwa sepanjang bulan Januari-Pebruari 2017, kami mencatat bahwa telah terjadi impor garam dengan kode HS 2501.00.90.10 (mengandung natrium klorida paling sedikit 94,7% dihitung dari basis kering)–ini merupakan kode HS lama–, sebanyak 184 ribu ton yang telah masuk ke Indonesia. Sedangkan sebagaimana UU No 7 dijelaskan bahwa impor komoditas garam harus mengantongi rekomendasi Menteri Kelautan dan Perikanan. Dan Menteri Kelautan dan Perikanan baru mengeluarkan rekomendasi impor kepada PT Garam pada bulan Maret 2017 dari total kuota 226 ribu telah direkomendasikan sebanyak 75 ribu ton.

Oleh karena itu, Kami Asosiasi Petambak Garam Nusantara (ASPEGNU) dengan ini menyampaikan

1. Hentikan pemisahan istilah garam menjadi konsumsi dan industri. Ini adalah akal-akalan untuk terus melanggengkan budaya impor garam dan mengebiri garam rakyat. Garam rakyat menjadi kambing hitam atas ketidakberdayaan melawan hukum kapital dengan isu kualitas garam yang tidak memenuhi kualifikasi kebutuhan garam industri. Karena sesungguhnya kebutuhan industri baik kimia dan makanan minuman dipenuhi oleh industri pengolah garam dan sebagian langsung dari petambak garam.

2. Hentikan permainan data untuk kepentingan impor-mengimpor garam. Bahwa neraca kebutuhan garam nasional menjadi simpang siur dan terus dibiarkan menjadi simpang siur semata lagi-lagi ini soal impor garam. Pasar garam hasil produksi petambak garam sesungguhnya adalah para industri pengolah garam. Selanjutnya industri pengolah garamlah yang akhirnya mengolah menjadi keperluan garam konsumsi beryodium baik untuk dijual langsung ke konsumen maupun industri makanan dan minuman serta diolah menjadi garam sesuai keperluan industri pengguna garam baik kimia, tekstil, dan lain-lain. Ketika industri pengolah garam mendapatkan hak impor, bersamaan industri pengguna garam juga impor maka sesunggunya telah terjadi penggandaan kebutuhan data garam karena impor hasil industri pengolah garam juga sebagiannya akan didistribusikan ke industri pengguna garam.

3. Patuhi dan laksanakanlah amanat UU No. 7 Tahun 2016 tentang pengendalian impor garam. Dalam hal ini aktivitas impor komoditas garam tanpa rekomendasi Kementerian Kelautan dan Perikanan telah menabrak dan melanggar Undang-Undang. Kami siap mengawal proses ini sehingga para petambak garam rakyat tidak dirugikan.

4. Bahwa kebijakan pengendalian impor garam kami setuju agar hak impor garam hanya diberikan kepada PT Garam sebagai BUMN yang menangani sektor garam sehingga garam nasional bisa dikontrol.

5. Bahwa dalam rangka membuat neraca garam nasional yang terukur, agar stok garam nasional difasilitasi dengan gudang-gudang garam nasional sehingga pasokan garam bisa dipantau berikut kualitas garamnya.

6. Bahwa upaya mencapai swasembada garam, kami mendukung untuk intensifikasi dan ekstensfikasi lahan di Nusa Tenggara Timur (NTT). NTT merupakan daerah dengan musim panas yang panjang dan sumber air laut yang masih bagus.


*) Sekretaris Jenderal Asosiasi Petambak Garam Nusantara (Aspegnu)