Opini

Perbedaan Makna Lebaran Kiai Jebul dan Kang Suyar

Sab, 24 Juni 2017 | 06:20 WIB

Oleh Kifayatul Akhyar
Di suatu mimbar ceramah Kiai Jebul menggebu-ngebu menjelaskan makna lebaran. Lebaran secara etimologi Jawa menurut penjelasannya mengandung empat maksud yaitu lebar-lebur-luber-labur.

Lebar artinya “kita akan bisa lebaran dari kemaksiatan dan lebur berarti lebur dari dosa, sedangkan luber artinya luber dari pahala dari Tuhan, luber dari keberkahan, luber dari rahmat Allah SWT.”

Sedangkan labur artinya “bersih sebab bagi orang yang benar-benar melaksanakan ibadah puasa, maka hati kita akan dilabur menjadi putih bersih tanpa dosa, makanya wajar saat mau lebaran rumah-rumah banyak yang dilabur (dicat), hal itu mengandung arti pembersihan jiwa juga pembersihan raga yang telah dilakukan.”

Hari raya Idul Fitri, menurut Kiai Jebul, adalah puncak dari ibadah puasa, karena Idul Fitri mempunyai keterkaitan dengan tujuan berpuasa, yaitu menjadi manusia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Kata “Id” secara bahasa Arab berasal dari akar kata ‘âda–ya‘ûdu artinya kembali. Sedangkan  “Fitri” berasal dari kata afthara–yufthiru–ifthar, dan itu bisa bisa berarti buka puasa atau makan dan bisa diartikan suci.

Lalu kata “Fitri” berasal dari kata fathara–yafthiru yang berarti suci, bersih dari segala dosa, kesalahan, kejelekan dan keburukan. Maka dari itu, menurut Kiai Jebul, bisa diambil simpulan bahwa Idul Fitri bisa diartikan kembalinya manusia ke dalam keadaan suci, atau keterbebasan dari segala dosa dan noda sehingga berada dalam kesucian (fitrah).

Tetapi, bagi Kang Suyar, penjelasan panjang lebar Kiai Jebul mengenai Lebaran dan Idul Fitri tersebut tidaklah begitu pas dengan dirinya, bahkan sangat-sangat tidak pas.

Kang Suyar yang hanya orang desa, pekerjaannya hanya sebagai "tukang nderes" (penyadap nira kelapa) dan buruh tani serabutan, sembahyangnya hanya "rubuh-rubuh gedang" (pepatah Jawa untuk menggambarkan shalat sebisanya), tidak pernah mondok ataupun mendalami ilmu agama, ngajinya hanya di surau saat kecil dulu, dan membaca Al-Quran pun tidak begitu lancar.

Kang Suyar memiliki seorang istri dan empat anak, semuanya masih sekolah. Yang bungsu kelas dua SMP. Yang ragil masih TK. Pekerjaannya sebagai penyadap nira kelapa hanya cukup untuk makan hari itu juga, tidak lebih tidak kurang. Biaya sekolah anak-anaknya juga masih banyak nunggak beberapa bulan, apalagi sampai mikir makna lebaran yang Kiai Jebul jelaskan.

Belum lagi musim lebaran seperti ini, walaupun menurutnya bukan hal wajib, tetapi Kang Suyar "nelangsa" (nangis batin) jika istri dan anaknya tidak makan ikan serta melihatnya tidak pakai baju baru saat hari lebaran nanti.

Maka dari itu, mendengar ceramah Kiai Jebul tersebut Kang Suyar hanya manggut-manggut sambil terkantuk-kantuk, karena semua yang dijelaskan Kiai Jebul walaupun itu benar tapi sangat tidak pas dengan kondisi dirinya.

Makna lebaran menurut Kang Suyar yang pas hanya makan ikan dan baju baru, itu saja, tidak lebih, tidak kurang.


*) Penulis tinggal di Banyumas