Opini

Megengan

Jum, 26 Mei 2017 | 12:23 WIB

Sismanto HS
Kanjeng Nabi Muhammad SAW mengajarkan kepada kita untuk senang, bergembira, dan bersuka cita ketika datangnya bulan Ramadhan. Di sebagian daerah Nusantara menggunakan dengan berbagai istilah untuk acara penyambutan bulan Ramadhan, begitu juga di kampung saya menyebutnya dengan istilah "megengan".

Tradisi megengan atau menahan merupakan tradisi turun temurun yang dilakukan warga kampung nelayan di Pati Jawa Tengah, sebagai rasa syukur kepada Allah SWT atas berbagai nikmat yang diberikan selama satu tahun. Tradisi ini juga sebagai pertanda bahwa jika sebentar lagi akan kedatangan tamu istimewa, Ramadhan. Megengan merupakan bukti kerukunan warga masyarakat yang ada dalam menjalin kerukunan dan kerjasama dalam bermasyarakat ketika menyambut datangnya bulan suci Ramadhan.

Di kampung saya, kebiasaan warga kampung saat megengan adalah melakukan kegiatan bersih-bersih makam bagi yang laki-laki, bersih-bersih masjid/mushalla serta membersihkan seluruh kampung secara bersama-sama. Pada kegiatan ini, para bapak akan saling mengucapkan maaf-maafan dan ucapan gembira menyambut datangnya bulan Ramadhan.

Pun demikian dengan apa yang dilakukan oleh kaum hawa, ibu-ibu. Mereka akan memasak masakan yang enak, kue, dan hidangan lainnya kemudian dikirimkan sebagai bentuk sedekah ke tetangga, saudara, dan handai tolan. Kue yang tidak pernah ketinggalan pada makanan yang dikirimkan ini adalah apem yang berasal dari bahasa Arab afwun, artinya mohon ampunan. Pengiriman makanan sebagai bentuk sedekah ini juga terkadang diniati untuk menyedekahkan kepada para arwah leluhur yang telah meninggal. Hal inilah yang kemudian kita kenal sebagai bulan arwah (ruwah/syaban) sebagai bulan memohon ampunan kepada leluhur yang telah meninggal.

Pada saat usia saya masih sekolah dasar, ada berbagai pesta hiburan di kampung yang diramaikan dengan dermolen, ombak banyu, dan tong setan. Namun saat ini, hiburan-hiburan Ini mulai tergerus oleh zaman dan jarang ditemukan lagi di kampung saya. 

Sebagai puncak megengan, biasanya warga masyarakat berkumpul di suatu tempat untuk berdoa bersama, dan setelahnya mereka akan makan secara bersama-sama. Dalam acara ini melebur menjadi satu antara orang dewasa dan anak anak dengan makan satu alas daun pisang yang menjadi simbol kerukunan dan saling berbagi antara satu dengan yang lainnya. 

Marhaban ya syahra Ramadlan
Marhaban ya syahra sa'adah
Marhaban syahra ibadah
Marhaban ya khaira khalqillah ...

Penulis adalah wakil sekretaris NU Kutai timur