Opini RAPAT PLENO PBNU

Kontekstualisasi Kebangsaan Aswaja

Sen, 28 Maret 2011 | 04:56 WIB

Prof Dr H Mochammad Maksum Machfoedz

Muktamar setahun berlalu. Dalam ‘Kembali ke Pesantren’, Rakernas atau Sidang Pleno 2011 PBNU diselenggarakan di Ponpes Krapyak Yogyakarta, 27-28 Maret, sehari setelah Halaqah Aswaja Kiai Muda Ansor. Menguat sekali target penguatan fungsionalisasi PBNU guna menjawab amanat Muktamar, internal maupun eksternal.

Internal, konsolidasi kelembagaan, kaderisasi, dan penguatan-pembakuan ajaran (tahqiq) adalah agenda yang sangat mengemuka. Sementara, rancang-bangun kehadiran substantif NU melalui kontekstualisasi kebangsaan Aswaja (KKA) adalah keharusan guna mendukung khidmad kemasyarakatan abadi: (i) pengembangan mutu keberagamaan, dan (ii)<> pengembangan mutu kesejahteraan.

Khidmad tersebut dibangun sebagai formalisasi perlawanan merespons dua kolonialisasi besar: (i) Kolonialisasi Keberagamaan oleh Pemerintah Arab Saudi, dan (ii) Kolonialisasi Kebangsaan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Anarkisme spiritualitas dan kebangsaan itulah pemicu Konsolidasi kekuatan kultural NU dalam kendali KH. Hasyim Asy’ari. Melalui Komite Hijaz, NU berhasil menjinakkan Raja Arab Saudi, imam besar Wahabi, untuk menghentikan kolonialisasinya. Sementara, melalui perjuangan bersama eksponen bangsa lainnya berhasil menegakkan Kemerdekaan RI.

Satu abad berselang, fanatisme kebangsaan NU menghadapi kolonialisasi yang ternyata nyaris sama meski bentuknya berbeda. Pertama, kembali maraknya tabdi’ dan takfir, pembid’ahan dan pengkafiran terhadap ubudiyah NU. Agresivitas kanan inipun bersamaan dengan krisis relasi multikultural serta maraknya aliran kiri yang oleh Hasyim Asy’ari disebut al-ibahiyyah: kelompok yang apa-apa boleh. Kedua, menggejalanya kerancuan dan kegamangan dalam urusan kebangsaan dan kesejahteraan rakyat, meski sudah 66 tahun Indonesia Merdeka.

Anasir Keberagamaan


Tidak dipungkiri, kolonialisasi keberagamaan terjadi karena keragaman agresivitas terkait dengan deviasi perspektif dalam memandang persoalan pluralitas, hubungan antarumat beragama, dan antarumat Islam. Perbedaan pola pandang terjadi dalam urusan domestik sampai tingkat global.

Keragaman sikap secara ekstrem mencuat dalam mencermati urusan Palestina-Israel, Iran dan Irak versus AS, dan mutakhir tentang krisis Timur Tengah dengan segala intervensi asing yang terjadi. Pada tingkat domestik, mutu relasi multikultural sangat beragam dipertontonkan dalam memandang minoritas dan menempatkan urusan hifz al-diin wa al-nafs wa al-’aql, perlindungan keberagamaan, keselamatan jiwa dan kebebasan berpikir, secara warna-warni.

Lebih dari sekadar keragaman, NU sebagai Orsos Islam terbesar dengan karakter menengah, tegak lurus berkeadilan, dan tolerannya, sudah barang tentu senantiasa hadir secara substantif ketika kasus kekerasan kolektif marak terjadi di Cikeusik, Temanggung, dan sebagainya, dan mutakhir maraknya paket bom. Kehadiran peran serta NU dalam urusan multikultural dan collective violence memang mutlak sifatnya.

Persoalan Kebangsaan

Banyak sekali urusan kebangsaan yang menuntut NU dengan KKA-nya hadir lebih berpengaruh. Maraknya politik transaksional, demokrasi plintiran, abadinya kapitalisme kroni, desentralisasi korupsi dan erzats capitalism dalam otonomi, kemerosotan budaya ekonomi-politik, pendidikan materialistik, dan banyak lagi dekadensi, sudah pasti merupakan pola kehidupan menyimpang menurut standar KKA.

Selanjutnya, NU secara substantif pasti hadir ketika senyatanya segala dekadensi kebangsaan terbukti berimplikasi negatif bagi kehidupan keberagamaan Nahdliyin. Maraknya moralitas ‘mandho’, makin haramnya ekonomi basis, pragmatisme amplop, dan segala dekadensi moralitas ekonomi, utamanya yang terkait dengan kesejahteraan rakyat, tentu menyedihkan para Kiai dengan perspektif KKA.

Urusan Kesejahteraan Rakyat


Teramat gamblang bahwa khithah ekonomi NU adalah ekonomi kerakyatan dalam trilogi: growth-equity-sustainability. KKA perekonomian ini terjabarkan dengan jelas melalui seluruh pilar penyangga NU: (i) Aswaja, (ii) Fikrah Nahdliyyah, (iii) Al-Kulliyaat al-Khams, (iv) Mabadi’ ‘Khaira Ummah, dan (v) Khithah Nahdliyyah, yang kesemuanya memandatkan etos sosial ekonomi dengan karakter keadilan, kebersamaan, kesetimbangan, kejujuran dan bahu-membahu.

Pada tingkat inilah KKA menempatkan pertanian dan usaha tani sebagai prioritas khitthah ekonomi kerakyatan NU. Konsekuensinya, PBNU secara substantif senantiasa hadir advokatif ketika dewasa ini perekonomian dan kehidupan rakyat tani, jutaan investor gurem yang mayoritasnya Nahdliyin, tidak memperoleh prioritas pembangunan secara memadai dibanding perekonomian berbasis impor milik segelintir saja kapitalis.

Road map
pertanian NU menegaskan bahwa kecuali gerak advokatif nasional, gerakan pemberdayaan dan penguatan rakyat tani pada tingkat mikro dan meso merupakan prioritas gerakan tiada henti dari Khitthah Ekonomi NU, insya Allah.

*) Prof Dr H Mochammad Maksum Machfoedz, Ketua PBNU; GB Agroindustri FTP-UGM; Peneliti PSPK-UGM, Ketua PBNU; GB Agroindustri FTP-UGM; Peneliti PSPK-UGM