Internasional

Pemerintah Mesir: Penyeberangan Rafah Selalu Buka, tapi Bantuan Terhambat Persetujuan Israel

Jum, 17 November 2023 | 19:00 WIB

Pemerintah Mesir: Penyeberangan Rafah Selalu Buka, tapi Bantuan Terhambat Persetujuan Israel

Bantuan-bantuan untuk rakyat Palestina yang masuk melalui Rafah, Mesir. (Foto: Reuters)

Jakarta, NU Online

Menteri Luar Negeri Mesir Sameh Shoukry meminta komunitas internasional untuk mendesak Israel agar mengizinkan bantuan masuk ke Jalur Gaza melalui penyeberangan Rafah.


Pihaknya memastikan bahwa penyeberangan Rafah yang merupakan satu-satunya akses menuju Gaza selalu terbuka. Hanya saja, arus keluar dan masuk bantuan dari Mesir ke Gaza berada di bawah kendali otoritas Israel.


"Perlintasan Rafah terbuka di pihak kami, tetapi masuknya bantuan harus mendapat persetujuan dari pihak Israel," ungkap dia, seperti dilansir dari Middle East Monitor.


Ia menekankan bahwa situasi kemanusiaan di Jalur Gaza tidak dapat ditoleransi. Dia juga menilai bahwa segala upaya untuk menggusur warga Palestina merupakan pelanggaran terhadap hukum internasional.


Penyeberangan Rafah saat ini merupakan satu-satunya jalur bagi Gaza menuju dunia luar. Truk bantuan Arab dan komunitas internasional yang membawa bantuan dibawa ke  penyeberangan Rafah setelah tiba di Bandara Internasional El-Arish, Mesir.


Juru bicara Kementerian Luar Negeri Mesir Ahmed Hafez mengatakan bahwa  Israel adalah pihak yang menghalangi masuknya bantuan ke daerah kantong tersebut, "Dengan prosedur yang menghalangi dan alasan pembenaran yang tidak berdasar," tuturnya.


Komisaris Jenderal Badan Bantuan dan Pekerjaan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi Palestina atau United Nations Relief and Works Agency for Palestine (UNRWA) mengungkapkan bahwa masyarakat Gaza terjebak di wilayah seluas 365 kilometer persegi tanpa jalan keluar.


"Hampir enam minggu terasa seperti neraka bagi masyarakat Gaza. Enam minggu terlalu lama bagi warga Palestina, bagi perempuan, dan bagi anak-anak," ungkap dia dalam pernyataannya pada Kamis (16/11/2023) dilansir laman UNRWA.


Hingga saat ini, ia mencatat terdapat lebih dari 800.000 orang mengungsi di tempat pengungsian UNRWA.


"Kami terus membicarakan kondisi kehidupan yang tidak sehat di tempat penampungan yang penuh sesak ini. Pertama, kami melihatnya karena hampir tidak ada air di tempat yang terdapat ribuan orang. Tapi ini adalah tempat yang tidak pernah dimaksudkan sebagai tempat berlindung. Pada dasarnya air tidak tersedia. Hanya ada satu toilet yang tersedia untuk 700 orang. Inilah kondisi kehidupan," paparnya.