Wawancara KH ARWANI FAISHAL

Penetapan Fatwa NU sudah Komprehensif

Kam, 29 Maret 2012 | 04:03 WIB

Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBM NU) merupakan perangkat organisasi Nahdlatul Ulama (NU) bertugas menyelenggarakan forum bahtsul masail atau kajian hukum Islam, dalam hal ini berkaitan dengan fatwa. Bahtsul masail melibatkan para kiai yang berada di jajaran syuriyah maupun para ahli fikih yang tersebar di berbagai pondok pesantren.

Perkembangan mutakhir mengantarkan bahtsul masail turut merespon isu-isu hukum kontemporer. Akan tetapi, sudut pandang tradisional yang dipakai kadang memancing kritik dari sejumlah pihak. Misalnya, bahtsul masail mendapat tudingan sebagai ‘anti konteks’, konservatif, dan lain-lain. Berikut wawancara Mahbib Khoiron dari NU Online dengan Wakil Ketua Pengurus Pusat LBM NU, KH Arwani Faisal.<>

Bagaimana LBM menanggapi kritik beberapa akademisi bahwa bahtsul masail selama ini kurang ilmiah dalam menyikapi kasus hukum?

Menurut saya itu karena mereka belum paham. Mereka mengerti hukum Islam baru secara dhahir saja. Justru cara yang ditempuh oleh NU setiap kali membahas hukum itu lebih general dan lebih transparan. Karena, banyak langkah yang harus dilalui. Pertama, harus mengulas pandangan ulama mujtahid dari berbagai mazhab. Dalam satu mazhab sudah ada perbedaan pandangan, apalagi menginventarisir mazhab-mazhab lain. Dari sekian pendapat-pendapat itu kita telusuri dalil-dalil yang digunakan. Itulah yang dimaksud proses istidlal (penerapan dalil). Terus kita telusuri juga proses istinbath-nya (penggalian hukum). Baru nanti kita tentukan mana yang lebih kuat dari sekian banyak pendapat itu. Jadi lebih general dan lebih transparan ketimbang orang yang langsung mengambil ayat untuk memutuskan hukum.

Apakah konteks historis dari pendapat-pendapat ulama itu juga dibahas?

Kalau untuk fatwa memang jawabannya singkat padat. Fatwa di manapun jawaban dipaparkan secara ringkas, bukan uraian kajian buku atau kitab. Kalau soal berdasarkan istidlal dan istinbath itu sudah pasti. Makanya yang mengerti fatwa itu hanya orang-orang yang benar-benar menguasai proses istinbatul hukmi; dari proses istidlal, istinbath, sampai ke tarjih (pemilihan pendapat yang terkuat). Kalau pihak akademisi mengritik berarti mereka baru kenal Islam.

Kalau soal sejarah dan konteks, sejauhmana petingnya dalam pengambilan hukum?

Sejarah itu sebagai sababun nuzul saja. Sebab turunnya suatu dalil. Itu kan tidak mutlak jadi putusan hukum. Sebab hukum itu lebih luas, sementara sababun nuzul itu sifatnya khusus. Makanya ada pernyataan al-‘ibrah bi umumil lafdh la bi khususis sabab (hukum mengacu pada teks, bukan konteks). Itu kaidah ushul fiqh. Jadi yang dipandang itu dalalah. Dalil secara umum, bukan sebab yang lebih khusus itu.

Suatu contoh, ketika di antara para shahabat bertanya tentang air laut, suci apa nggak? sementara air tawar tidak ditemukan. Nah, Rasulullah menyatakan, at-thuhur ma’uhu. Artinya, suci airnya (air laut). Rasulullah saat ditanya itu kan dalam kondisi tidak ditemukannya air tawar, tapi itu bukan berarti kita hanya boleh menggunakan air laut. Bukan begitu. Meskipun ada air tawar, air laut juga suci. Lha, itu artinya al-‘ibrah bi umumil lafdh la bi khususis sabab.

Kalau pentingnya konteks kekinian dalam proses penetapan hukum?

Oh, itu hal biasa. Konteks kekinian tetap menjadi pertimbangan. Tapi harus dipilah tentang aspek-aspek hukumnya. Masalikul ‘illat-nya atau reason of law-nya. Jadi tidak konteks itu dibawa secara utuh. Keterlibatan konteks itu pasti, karena justru yang dijawab itu kan persoalan konteks. Substansi persoalnnya kan konteks itu. Tapi tidak serta-merta mengambil unsur ‘illat (alasan) hukum. ‘Illat hukum dalam konteks itu kan banyak sekali. ‘Illat hukum itulah nanti yang akan dibahas. Maksudnya, apakah mengandung mashlahah (kebaikan/kemanfaatan) atau mafsadah (kerusakan/mudarat), ada landasan hukumnya atau tidak, dan sebagainya. Jadi kajian hukum itu sangat general. Jadi tidak bisa dipahami dari secara tekstual dari al-Qur’an dan as-Sunnah, tapi harus diuji dulu bagaimana istidlal. Pembahasan istidlal nanti mengarah pada bagaimana wajhud dalalah-nya (aspek dalil), dikaji dari segi istinbath-nya. Putusan hukum yang didasari dengan ‘illat.

Apakah proses penetapan hukum juga melibatkan pakar-pakar lain di luar bidang fiqh?

Setiap bahas hukum pasti melibatkan ahli. Karena hukum diputuskan berdasarkan orang-orang ahli itu. Satu contoh misalkan ketika membahas vaksin meningitis atau vaksin polio. Kita harus ngerti unsur-unsurnya apa saja yang terkait dengan hukum. Pasti, setiap membahas hukum ada tahqiq. Itu namanya tahqiqul manat. Kalau ada pemikir yang menyebut tidak melibatkan ahli tidak benar. Kalau nggak melibatkan mereka mungkin iya karena mereka bukan orang ahli. Itu lho persoalannya.

Pernah ada masyarakat yang tidak puas terhadap keputusan bahtsul masail?

Alhamdulillah tidak ada. Justru apa yang diputuskan selama ini diterima masyarakat dengan baik.

Kadang-kadang kita mengenal sikap mauquf, itu maksudnya apa

Tida ada. Nggak pernah ada kajian yang sifatnya mauquf. Tidak ada. Mauquf itu artinya persoalan belum bisa diputuskan hukumnya. Selama ini belum pernah ada. Semua dibahas tuntas, karena kajian bersifat general dan transparan itu. General terkait dengan pembahasan hukum, lho ya. Komprehensif.

Untuk akumulasi masalah di daerah-daerah, cara LMB seperti apa?

Kalau persoalan di wilayah akan dibahas oleh wilayah. Karena pengurus wilayah sampai pengurus cabang punya lembaga bahtsul masailnya. Jadi mereka punya otoritas untuk melaksanakan bahtsul masail, dan mereka bener-bener mandiri. LBM Pusat (Pengurus Pusat LBM NU, Red) tidak mempengaruhi. Jadi sangat mandiri.

Tidak ada klasifikasi putusan ‘benar-salah’. Mereka memutuskan kan dasarnya jelas. Dengan kajian yang sifanya komprehensif dan transparan, karena diawali kajian pandangan ulama mujtahid yang empat mazhab itu.

Yang dilakuan PP LBM NU terhadap segenap putusan di daerah?

LBM PBNU melakukan tahqiq atau verifikasi keputusan-keputusan wilayah yang dikirimkan atau dimintakan dilakukan tahqiq, kalau nggak, ya nggak. Jadi sebatas melakukan tahqiq keputusan-keputusan wilayah yang dimintakan kepada LBM PBNU untuk mentahqiq. Dan tidak ada ketentuan bahwa keputusan wilayah itu harus ditahqiq oleh LBM PBNU.

Menjelang kampanye pemilu atau pilkada, ada yang menemukan surat edaran bahtsul masail yang memihak politisi tertentu, itu bagaimana?

Itu oknum-oknum tertentu yang ingin memanfaatkan keputusan hukum di NU untuk kepentingan partai atau politik. Kalau memang terjadi, hal itu di luar sepengetahuan LBM PBNU. Bisa jadi hal-hal itu dilakukan oleh orang atau sekelompok orang yang tidak senang dengan NU.


Redaktur: A. Khoirul Anam