Wawancara

Kikis Korupsi dengan Keterbukaan Informasi

Sel, 2 Mei 2017 | 22:30 WIB

Kikis Korupsi dengan Keterbukaan Informasi

Komisioner KIP Rumadi Ahmad.

Transparansi (keterbukaan) menjadi hal yang cukup serius dan krusial di beberapa negara, termasuk Indonesia. Bukan hanya transparani informasi, tetapi juga anggaran. Dunia sudah berubah. Dulu, institusi dan lembaga negara bisa melakukan manuver anggaran. Tapi sekarang itu tidak bisa lagi. Apalagi setelah disahkan dan diimplementasikannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Semua badan publik harus memberikan transparansi anggaran dan informasi kepada khalayak umum.

Kasus terhangat terkait transparansi adalah hak angket yang dilayangkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) –khususnya Komisi III- kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Konon, sebab digulirkannya hak angket adalah tidak adanya transparansi pada KPK. Sejumlah anggota DPR menilai bahwa KPK tidak transparan dalam hal informasi. 

Selain itu, masalah transparansi juga mendera kasus Alfamart-Mustholih. Mustholih, konsumen dan donatur donasi yang galang Alfamart menuntut retail tersebut untuk memberikan informasi terkait dengan jumlah, tujuan, dan penerima donasi. Alfamart tidak bersedia dan menggugat balik Mustholih ke pengadilan. Tanggal 18 April, Pengadilan Negeri Tangerang memutuskan menolak gugatan Alfamart. Dengan demikian, Alfamart harus memberikan informasi terkait donasi yang digalangya apabila ia tidak melakukan kasasi.

Memang, persoalan transparansi cukup pelik di negeri ini. Oleh karena itu, Ahmad Muchlishon dari NU Online berhasil mewawancarai salah satu Komisioner Komisi Informasi Pusat (KIP) Rumadi Ahmad yang juga Ketua Lakpesdam PBNU untuk menjelaskan seperti apa dan seharusnya bagaimana praktik transparansi di Indonesia ini. Berikut hasil wawancaranya:

Perkembangan transparansi informasi di Indonesia seperti apa, pak?

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi adalah Undang-Undang yang menandai berubahnya era pengelolaan negara. Sebelum ada UU No. 14 ini, hampir dalam seluruh sektor pengelolaan negera kulturnya itu gelap, tidak transparan, dan tidak akuntabel. Akibatnya, banyak terjadi kecurangan-kecurangan yang disebabkan oleh sistem yang tidak transparan. Masyarakat juga tidak memiliki akses yang cukup untuk mendapatkan informasi yang dikuasai oleh lembaga-lembaga negara seperti berapa anggaran kementerian ini, untuk apa saja, dan laporannya bagaimana. Masyarakat tidak memiliki akses ini. 

Sejak kapan UU keterbukaan Informasi itu digulirkan hingga kemudian disahkan dan diterapkan?

Sejak tahun 2001, masyarakat sipil mendorong adanya Undang-Undang yang menjamin keterbukaan informasi. Kemudian sampai pada tahun 2008, Undang-Undang Nomor 14 tentang keterbukaan informasi berhasil disahkan. Undang-Undang ini ingin merubah mindset pengelolaan negara. Dari kultur yang serba gelap dan tertutup menjadi kultur yang terbuka, transparan, dan akuntabel.

Tetapi merubah cara berpikir itu bukan sesuatu yang gampang. Ini menjadikan banyak orang tergagap. Tidak semua badan publik siap untuk melaksanakan Undang-Undang ini. Bahkan mereka lebih senang untuk hidup dalam kultur yang gelap, karena mereka bebas melakukan manuver keuangan. 

Oleh karena itu, ada kesepakatan antara DPR dan pemerintah untuk menunda implementasi Undang-Undang ini selama dua tahun. Undang-Undang ini baru diimplementasikan secara efektif dua tahu setelah disahkan. Disahkannya itu 30 April 2008, baru dilaksanakan secara efektif pada 30 April 2010.

Transparansi yang ada di Indonesia saat ini seperti apa?

Kita sudah lumayan bagus. Survei-survei yang dilaksanakan oleh sejumlah lembaga seperti Open Budget Index menunjukkan Indonesia menempati urutan kedua se-Asia di bawah Korea Selatan dan pertama se-Asia Tenggara sebagai negara yang transparan dalam hal anggaran pada tahun 2012. 

Survei-survei dalam negeri seperti Fitra juga menunjukkan transparansi Indonesia mengalami perkembangan yang baik. Pemeringkatan yang dilakukan Komisi Informasi Pusat juga menunjukkan ada progres. Ada kemajuan-kemjuan pada level transparansi. Meskipun transparansi belum memiliki pengaruh yang signifikan terhadap indeks persepsi korupsi. Transparansi kita baik tetapi indeks persepsi korupsi kita tidak naik-naik. 

Tahun 2016, indeks perspepsi korupsi kita di angka 38 dari skor 100. Tahun 2015 di angka 36, tahun 2014 di angka 34, dan tahun sebelumnya di angka 32. Ada kenaikan-kenaikan tetapi sangat pelan jika dibanding dengan keterbukaan informasi yang tampaknya lebih baik. 

Berarti ada hubungan yang erat antara transparansi dan indeks persepsi korupsi?  

Iya, tantangannya adalah memastikan bagaimana transparansi yang sudah mulai baik memiliki kontribusi yang positif terhadap indeks persepsi korupsi kita. Karena sebenarnya keterbukaan informasi atau transparansi itu hanya sebagian kecil dari upaya untuk pencegahan korupsi. Kalau orang hidup di dalam kultur yang transparan dan akuntabel, maka mereka akan memiliki keengganan untuk melakukan tindakan koruptif.  

Kalau di daerah bagaimana?

Daerah situasinya lebih memprihatinkan. Ada tren di level kementerian itu baik tapi begitu turun semakin ke bawah kecenderungan untuk transparansi itu semakin rendah. Di provinsi, di kabupaten itu semakin rendah transparansinya. Ini salah satu tantangan terberat kita bagaimana transparansi bisa masuk ke birokrasi paling bawah. 

Banyak orang yang merasa keterbukaan informasi itu sesuatu yang membebani. Sebenarnya tidak. Keterbukaan informasi itu justru meringankan langkah birokrat di dalam pengelolaan keuangan. 

Bagaimana agar praktik transparansi bisa berjalan baik di daerah?

Kabupaten Batang pernah melaksanakan festival anggaran. Semua dinas-dinas di bawah bupati dibuatkan festival dan mereka diminta untuk menayangkan semua anggaran yang mereka miliki. Dan masyarakat dipersilahkan datang melihat dan bertanya apa saja. Itu menumbuhkan kepercayaan pada publik. Apa yang dilakukan di Batang seperti ini bisa dikopi oleh pemerintah daerah yang lain.

Bagaimana caranya?

Pertama-tama yang harus dilakukan adalah melakukan revolusi mental. Mengubah cara berfikir bahwa anggaran harus dikekepin dan tidak boleh orang tahu itu harus dihilangkan. Bahkan, anggaran itu harus dibuka seluas-luasnya dan biarkan masyarakat melihat. Kalau masyarakat melihat maka akan timbul partisipasi. Kalau masyarakat tidak tahu maka yang muncul adalah kecurigaan. Kalau sudah timbul kecurigaan, maka masyarakat tidak akan ikut berpartisipasi dalam program-program yang digagas oleh pemerintah.

Isu terkini, KPK dinilai tidak transparan. Bagaimana pendapat bapak?

Menurut saya, DPR salah dan terlalu memaksakan kehendak. DPR harus paham kalau KPK memiliki hak untuk memberikan atau tidak memberika informasi. Tetapi ini tidak bisa sembarangan. Kalau KPK mau merahasiakan informasi maka dia harus memiliki argumen kenapa informasi itu ditahan. 

Kalau dalam Undang-Undang Keterbukaan Informasi KPK harus melakukan uji konsekuensi. Uji konsekuensi adalah argumentasi kenapa informasi tidak diberikan. Apakah bertentangan dengan Undang-Undang tertentu ataukah akan mengganggu proses penegakan hukum. Kalau itu memang mengganggu proses penegakan hukum, sebenarnya KPK dilindungi oleh Undang-Undang untuk tidak memberikan informasi itu. 

Lalu, seharusnya DPR bagaimana?

DPR tidak usah memaksakan kehendak. DPR bisa menempuh melalui mekanisme permohonan informasi sebagaimana yang diatur oleh Undang-Undang Keterbukaan Informasi. Misalnya, secara formal DPR melayangkan surat ke KPK untuk menanyakan informasi terkait. Itu ada prosedurnya. Kalau KPK tidak mau memberikan informasi, DPR bisa mengadukan ke Komisi Informasi. Dan Komisi Informasi yang menilai apakah informasi yang diminta DPR bisa diberikan atau tidak. 

Sayangnya, DPR tidak menempuh prosedur itu sebagaimana yang dijamin oleh Undang-Undang tetapi lebih mengedepankan aspek politiknya seperti membuat angket. Menurut saya, DPR terlalu berlebihan. 

Kalau masalah transparansi Alfamart?

Masing-masing pihak kan sudah menjalani prosedur hukum. Kalau Alfamart tidak melakukan kasasi ke Mahkamah Agung, maka Alfamart menerima putusan pengadilan negeri dan dia harus menjalankan putusan itu. Kalau tidak mau menjalankan putusan, ada aspek hukum lain yang dilanggar. 

Kasus ini sebenarnya kecil. Tapi sepertinya Alfamartnya yang ketakutan atau input-input yang diberikan pengacaranya menakut-nakuti Alfamart sehingga Alfamart mengajuka gugatan ke pengadilan. 

Itu akan sangat mudah diselesaikan kalau Alfamart memiliki itikad baik. Kalau tidak ada sesuatu yang ditutup-tutupi Alfamart dan memberika laporan donasi ke Mustholih sebenarnya selesai. Publik justru menaruh curiga. Alfamart kok sampai menyewa pengacara yang mahal itu sebenarnya apa yang ditutupi.