Pustaka

Memaknai Humanisme Islam

Ahad, 5 Oktober 2008 | 23:00 WIB

Judul Buku: Humanisme Islam
Penulis: Baedhowi, MAg
Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan: 1, Mei 2008
Halaman: xxxvi+250
Peresensi: Heri Kurniawan


Saat ini dunia memandang Islam sebagai agama yang anarkis, militan, eksklusif, fundamentalis, dan banyak lagi sebutan untuknya. Anggapan itu diperparah dengan merebaknya aksi-aksi teror, puncaknya saat peristiwa Word Treade Center di Amerika Serikat (AS) pada 11 september 2001. Perbuatan ini ditengarai para tokoh Islam; Usama bin Laden, dan kawan-kawan. Akibatnya, orang-orang non-Islam khususnya, menjadi takut ketika mendengar nama Islam disebut. Tapi, apakah benar Islam mengajarkan kekerasan?<>

Streotipe-streotipe yang dilekatkan kepada Islam ini ditepis Muhammad Arkoun. Pemikir Islam kelahiran Tourit Mimoun, Kabilia, 28 Februari 1928 itu. Ia menilai, jauh hari Islam itu telah mengajarkan nilai-nilai humanisme terhadap penganutya. Hanya, ada beberapa kecacatan, khususnya para penganutnya, dalam memahami humanisme. Akibatnya, nilai-nilai humanisme itu terkaburkan. Semua dapat kita dibaca dalam buku setebal 250 halaman ini.

Arkoun membagi tiga kategori ketika memandang humanisme dalam Islam. Pertama, humanise literer. Humanisme literer ini terjadi di dunia Islam klasik sekitar abad ke-III-IV/IX-X H. Munculnya humanisme itu ditandai memuncaknya semangat aristokrasi, uang dan kekuasaan. Pada masa itu, orang-orang yang berbakat tidak bisa mengerjakan keinginan bakat-bakat mereka kecuali di lingkungan istana raja-raja dan lingkungan orang-orang kaya.

Humanisme masa itu mirip dengan adab atau humanitas, yakni sebagai sebagai sebuah pengetahuaan dan kebudayaan yang komplet, semangat dan gambaran ideal manusia tanpa dibatasi secara spesifik dan kaku disiplin keilmuan. Namun, meski para tokoh humanisme literer (Adib) hidup di dalam istana dan dekat dengan kekuasaan—menjadi sekretaris negara, dan duduk di pemerintahan—peradaban Islamnya masih merupakan cerminan dari peradaban masyarakat sipil (civil society), bukan militer. (halaman 67) Hanya, humanisme itu masih memiliki kelemahan.

Dari aspek epistimologinya, humanisme literer membangun pola pikirnya hanya melalui dan berdasar literatur atau teks. Para humanis literer juga banyak bergantung pada dan banyak ditopang fasilitas para penguasa (raja, aristokrat, penyandang dana dan sebagainya) sehingga sulit bersikap obyektif. Selain itu, humanisme ini lebih terpaku pada persoalan yang bersifat literalis-tekstualistis. Akibatnya, humanisme literer menjadi tidak sadar akan faktor historisitasnya. Karena yang menjadi tolak ukur dan standarisasinya pada persoalan literer atau teks tanpa menyadari setting-historis dan konteks yang melatar belakanginya, sehingga humanisme ini menjadi tidak kontekstual. (halaman 70)

Kedua, humanisme relegius. Humanisme ini adalah sebuah konsepsi yang hendak mengukur ketaatan keberagamaan atau kesalehan seseorang lewat pintu masuk dunia mistik (tasawuf). Humanisme ini digambarkan sebagai sarana keyakinan dan penaklukan terhadap nafsu (jihad al-akbar), rujukan tetap pada Tuhan, dan rasa malu dalam aksi dan konsep, kepasrahan dan penghapusan keinginan yang ditempatkan pada sebuah Keadilan yang tak dapat ditolak (halaman 72). Humanisme ini ternyata juga memiliki kecacatan dalam pandangan Arkoun.

Dalam sejarah pemikiran ortodoksi, humanisme ini sering menjadi eskapisme dari kenyataan politis yang cenderung mendukung faham determinisme dalam teologi, sampai akhirnya sufisme dianggap sebagai agama masa atau ordo-ordo sufisme. Arkoun secara empatis juga memahi bahwa humanisme religius (sufisme), di satu sisi, memang telah mendorong manusia untuk mendekati Tuhan tanpa perantaraan pastur-pastur dan sejenisnya, tetapi dalam pandangan hukum-teologi dan sejenisnya ortodoksi (fukuha' wa mutakallimun) kaum sufi dianggap telah terlalu jauh dalam keterpisahan spritual mereka dari masyarakatnya, khususnya bagi mereka yang telah mencapai tingkat kesatuan ekstasi (al-wahdah), dengan Tuhannya.

Ketiga, humanisme filosofis. Humanisme ini dalam gambaran Arkoun dilukiskan sebagai menyatunya elemen-elemen dari kedua humanisme di atas (humanisme literer, dan humanisme religius), tanpa dibedakan disiplin keilmuan yang lebih jelas, dengan ketenangan yang lebih menghanyutkan dan mencemaskan, lebih metodis, dan lebih solider terhadap kebenaran antara dunia, manusia, dan Tuhan. Ia mengetengahkan seluruh pertanggungjawaban yang dapat dinalar dan seluruh kecerdasan manusia secara otonom. (halaman 79)

Humanisme ini yang sekarang disalahpahami masyarakat muslim. Menurut Arkoun, humanisme ini memiliki otonomi kebebasan yang besar kepada manusia untuk mengoptimalkan kecerdasannya tanpa didasari rasa bertanggung jawab terhadap Tuhan, sebagaimana diungkapkan Abu Hayyan at-Tauhidi, "manusia cenderung menjadi problem bagi manusia lain".

Dari pemaparan singkat di atas, dapat diketahui bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan nilai-nilai humanisme kepada penganutnya. Hanya, sering kali penganutnya itu sendiri yang salah dalam memahami ajarannya.

Sekali lagi, ini menjadi bukti, bahwa Islam bukan agama yang mendukung kekerasan anarkisme. Jika begitu, siapa yang perlu disalahkan, umat Islam yang fatal memaknai ajarannya sendiri atau orang-orang non0Islam yang tidak paham terhadap esensi Islam. Dapat dikatakan, dunia Barat terlalu prematur mengklaim Islam dengan steotipe-stereotipe yang sebetulnya tidak obyektif.

Peresensi adalah Pengamat buku-buku khazanah pemikiran Islam, tinggal di Yogyakarta