Opini

Kiai dan Penceramah Selebritis

Rab, 3 Januari 2018 | 22:16 WIB

Kiai dan Penceramah Selebritis

Al-Zastrouw Ngatawi.

Oleh Al-Zastrouw Ngatawi

Dikisahkan ada seorang pelacur yang datang menghadap Kiai Abdul Djalil Mustaqim, pengasuh pesantren PETA Tungagung. Sang pelacur minta doa ke Kiai Djalil agar dirinya laris. Kiai Djalil mendoakan pelacur tersebut. Selang beberapa minggu pelacur tersebut kembali sowan dan menyatakan diri mau taubat.

Kepada Kiai Djalil pelacur tersebut bercerita, setelah didoakan dia mendapat banyak tamu bahkan dirinya hampir tidak pernah berhenti melayani tamu, sehingga tidak bisa istirahat. Si pelacur merasa tidak kuat lagi menjalani profesinya sehingga memutuskan untuk berhenti dan tobat.

Dalam kisah yang lain disebutkan mengenai kearifan Kiai Chudlori, pengasuh pesantren API Tegalrejo, Magelang yang lebih mendahulukan membeli gamelan daripada membangun mesjid. Dengan keputusan ini seolah Kiai Chudlori memenangkan kelompok pecinta gamelan daripada membela kepentingan Islam. Padahal semua itu dikakukan justru untuk menjaga kerukunan dan ketenteraman sebagai wujud kemuliaan ajaran Islam dan tingginya akhlak kaum Muslimin.

Kisah-kisah seperti ini banyak dijumpai dalam kehidupan kiai dengan berbagai versi. Inilah yang menyebabkan masyarakat selalu merasa terayomi dan terselesaikan masalahnya setelah menghadap kiai. Hati mereka terasa tenang dan jiwanya tentram setelah mendengar wejangan kiai.

Mengapa kiai bisa bersikap seperti itu? Karena kiai hidup bersama masyarakat, selalu berada di tengah masyarakat sehingga bisa mengerti, memahami dan emphati terhadap berbagai problem dan kesulitan hidup masyarakat. Seorang kiai selalu dituntut mencari solusi alternatif untuk memecahkan persoalan umat secara konkret. Bukan sekadar menjadi penceramah yang memberikan khotbah normatif atau menjadi hakim moral yang sama sekali tidak menyelesaikan masalah.

Laku hidup seperti inilah yang membuat seorang kiai memiliki sikap dan pandangan keagamaan yang arif. Kearifan ini menjadi dasar dalam mengamalkan dan mengajarkan agama dalam realitas yang sangat rumit dan kompleks. Kearifan ini pula yang membuat kiai tidak sembarangan menerapkan teks dan ayat-ayat agama yang membuat mereka mudah menjadi hakim moral terhadap masyarakat. Mereka sangat hati-hati dalam menggunakan simbol-simbol agama, tidak mudah mengobral ayat. Semua ini dilakukan demi menjaga sakralitas agama itu sendiri.

Dalam pikiran para kiai, membuat rakyat hidup rukun, damai dan bahagia jauh lebih penting daripada meceramahi rakyat tentang syariah. Karena bagi kiai inilah cara terbaik mengajarkan dan mengamalkan ajaran agama. Artinya agama harus hadir secara nyata dalam kehidupan masyarakat. Bukan sekadar retorika di media sosial (medsos) atau di mimbar-mimbar khotbah.

Meski banyak kiai yang punya keahlian ceramah, tapi ceramah-ceramah mereka penuh dengan kesejukan yang mententeramkan. Tidak bikin resah, gelisah karena berbagai caci maki yang menebarkan kebencian dan permusuhan.

Kapasitas dan moralitas kiai yang seperti ini berbeda dengan para penceramah zaman now yang cenderung lebih mementingkan kemampuan orasi dan keterampilan menarik perhatian massa meski dengan ilmu agama yang pas-pasan. Semakin terampil berorasi dan menyampaikan ajaran agama secata tekstual retorik sehingga mampu membuat umat berdecak kagum, maka dia akan semakin populer dan banyak mendapat pengikut. Kearifan dan kesantunan seolah bukan menjadi suatu yang diperlukan bagi penceramah zaman now.

Seorang penceramah tidak perlu memikirkan apakah kebenaran yang disampaikan itu bisa memacing kegaduhan atau tidak, menyebabkan keretakan sosial atau tidak. Bagi mereka kebenaran agama (tentunya yang sesuai dengan pikiran mereka) harus disampaikan. Kalau perlu dengan caci maki dan hujatan agar audience yakin atas kebenaran yang disampaikan. Semakin bisa menghakimi orang lain dan semakin bisa bikin kegaduhan maka akan semakin dianggap pemberani dan hebat.

Inilah yang menyebabkan seorang penceramah merasa tidak perlu bersusah payah memahami konteks sosial masyarakat. Tidak perlu mengerti perasaan dan kesulitan umat yang mengharuskan mereka bergelut dengan realitas secara intens.

Kebutaan atas realitas dan nihilnya rasa empati membuat mereka kehilangan kearifan sehingga mudah tergelincir masuk dalam dunia selebritis. Hanyut dalam gegap gempita tepukan massa. Selain itu sikap seperti ini mudah dimanfaatkan oleh kepentingan politik yang lebih mengedepankan syahwat kekuasaan dan ambisi-ambisi yang bersifat profan dan sempit. Inilah yang membedakan sosok kiai dengan penceramah dan selibritis zaman now.

Kiai mendidik dan menyampaikan ajaran agama dengan menyentuh rasa batin melalui pendidikan dan pembudayaan serta laku hidup yang nyata. Sedangkan penceramah menyampaikan ajaran agama dengan menyentuh dan membakar emosi, mengabaikan rasa. Kiai mengajarkan kebenaran dengan pendekatan kemaslahatan dalam perspektif baik buruk. Sedangkan penceramah sering menggunakan perspektif benar salah dengan cara-cara agitatif, sehingga sering memancing konflik dan kegaduhan.

Misalnya, ketika Kiai Djalil mendoakan pelacur bukan berarti beliau tidak mengerti hukumnya zina. Demikian juga ketika Kiai Chudlori membela kelompok gamelan sehingga lebih mendahulukan membeli gamelan daripada bangun mesjid. Ini bukan berarti beliau menganggap membangun mesjid tidak penting. Sebagai seorang ulama beliau-beliau sangat paham terhadap syariat dan hukum Islam.

Tetapi sebagai kiai yang kuyup dengan kenyataan hidup mereka juga sangat memahami cara dan metode mendidik masyarakat agar bisa menerapkan syariat secara tepat dan akurat dan menjalankannya secara suka rela. Ini bisa terjadi karena sebagaimana dinyatakan Kiai Mustofa Bisri (Gus Mus), “kiai itu yandzurunal ummah bi ainin rahmah" (melihat umat dengan kacamata kasih sayang). Dengan kacamata ini kiai bisa menerima para pelacur dan para pendosa lainnya secara terbuka. Dan mereka-mereka itu merasa nyaman dan tenteram ketika menghadap kiai.

Berbeda dengan kecenderungan penceramah zaman now yang hanya melihat persoalan dari sisi benar salah, sesat dan tidak sesat sesuai pemahaman mereka sendiri. Sehingga mudah marah-marah, menyesatkan dan menghakimi dengan intimidasi moral sebagaimana yang terlihat di berbagai media akhir-akhir ini. Bisa dikatakan penceramah yang seperti ini cenderung "yandzurunal ummah bi 'ainin ghodzob" (memandang umat dengan kacamata marah/benci). Akibatnya umat yang merasa berdosa bukannya jadi sadar tapi malah jadi takut dan menjauh.

Karena hidupnya yang selalu berada di tengah-tengah umat maka tidak jarang kehidupan kiai luput dari perhatian dan liputan media. Tidak seperti penceramah yang setiap saat diliput media. sehingga popularitasnnya bisa menyamai para selebritis. Bahkan lagi plesir diliput dan diunggah di medsos dilarang ceramah karena dianggap provokatif, teriak-teriak di medsos hingga memancing kegaduhan, seolah Islam terancam. Padahal banyak kiai yang hidupnya diancam dan diintimadasi, mereka tetap berdakwah dengan ikhlas dan tenang. Tidak gaduh dan bikin fitnah ke sana-ke mari.

Alangkah baiknya jika para kiai ini bisa tampil di media agar kearifan mereka bisa menjadi teladan. Dan akan lebih baik jika penceramah bisa menjalani laku hidup seperti kiai sehingga memiliki akhlak dan kearifan seperti para kiai. Jika hal ini belum bisa terwujud maka diperlukan kepekaan batin dan kejernihan hati agar tidak mudah terpukau oleh para penceramah yang sudah jadi selebriti, hanya menyampaikan kebenaran tetapi mengabaikan kemaslahatan karena penuh hujatan dan caci maki.

Semoga kita mampu membedakan mana kiai dan mana penceramah yang sudah jadi selebriti.

Penulis adalah Pegiat Budaya, Dosen Pascasarjana UNU Indonesia (UNUSIA) Jakarta.