Syariat Islam Pertimbangkan Kemaslahatan dan Kemafsadatan Childfree
Sen, 6 September 2021 | 16:45 WIB
Syifa Arrahmah
Kontributor
Jakarta, NU Online
Istilah Childfree belakangan santer dibicarakan pengguna jagat maya. Pro dan kontra pun muncul. Ada beberapa yang menganggap keputusan tersebut sebagai sesuatu yang salah. Namun, ada pula yang mendukung, apalagi jika keputusan ini telah menjadi kesepakatan bersama pasangan.
Menanggapi perdebatan tersebut, Ning Imaz Fatimatuz Zahra, Founder @perempuanmengaji, menerangkan, meskipun hukum syariat Islam cenderung fleksibel, akan tetapi agama sangat mempertimbangkan sisi kemaslahatan, termasuk pilihan Childfree.
“Syariat di sini tidaklah saklek ataupun tidaklah langsung mengharamkan seseorang untuk tidak mempunyai anak, karena memang sisi maslahat sangat dipertimbangkan. Itu kenapa hukum alat kontrasepsi diperbolehkan,” terang Ning Imaz dalam tayangan bertajuk "Childfree dalam Islam" di kanal NU Online, Ahad (5/9/2021).
Diketahui, fenomena childfree sudah ada jauh sebelum para pemengaruh (influencer) menyuarakannya, terbukti dalam suatu riset berjudul Childlessness in the United States milik Tomas Frejka, menyatakan bahwa dibanding dekade 1970-an, pilihan untuk tidak mempunyai anak meningkat dari 10 persen menjadi 20 persen di tahun 2000-an.
Sementara itu, International Business Times melaporkan bahwa Australian Bureau of Statistic menilai akan lebih banyak pasangan berkeluarga yang memilih untuk tidak punya anak di antara tahun 2023-2029.
Terlepas dari itu semua, menurutnya, penyuaraan childfree sangat tidak sesuai dengan anjuran Islam. Jika keputusan itu diambil, alangkah baiknya kedua pasangan mempertimbangkan dengan matang aspek kemaslahatan dan kemafsadatannya.
“Jadi, tidak hanya mengikuti tren atau tidak hanya dijadikan sebuah solusi dari permasalahan yang ada. Misalnya, mengobati trauma,” ujar perempuan asal Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur itu.
Berdasarkan penelitian dari para ahli, trauma merupakan satu di antara sekian sebab pasangan memilih untuk bebas dari anak. Lainnya, seperti masalah personal, finansial, latar belakang keluarga, kekhawatiran akan tumbuh kembang anak, isu atau permasalahan lingkungan, hingga alasan terkait emosional atau maternal instinct.
Keputusan childfree memang sangat personal. Namun, pilihan ini juga tidak menutup kemungkinan memunculkan dampak seperti stigma negatif dari masyarakat bahkan keluarga sendiri. Stigma tersebut pun membuka kesempatan timbulnya tekanan sosial bagi pasangan dengan keputusan childfree.
Peneliti F. Van Balen menyebutkan dalam riset ilmiah berjudul The Social and Cultural Consequences of Being Childless in Poor-Resource Areas bahwa ada konsekuensi sosial dari masyarakat sekitar yang harus ditanggung jika seseorang memutuskan untuk tidak mempunyai anak.
Van Balen menemukan bahwa kekerasan verbal menjadi konsekuensi paling banyak ditemukan di lingkungan masyarakat. Karenanya, Ning Imaz menegaskan, kebijaksanaan dalam menyikapi hal ini sangat amat diperlukan.
“Karena bagaimana pun memiliki anak itu mengandung unsur ibadah. Jangan langsung diikuti tanpa pertimbangan yang matang meskipun dalam kacamata fiqih bukan hal haram,” tegas dia.
Kontributor: Syifa Arrahmah
Editor: Syakir NF
Terpopuler
1
PBNU Buka Pendaftaran Beasiswa S1 ke Al-Azhar Mesir, Ini Ketentuan dan Cara Daftarnya
2
Khutbah Jumat: Menjadi Pribadi Lebih Baik di Tahun Baru Islam
3
Khutbah Jumat: Mewarnai Agenda Akhir Tahun dengan Tobat dan Introspeksi Diri
4
Khutbah Jumat Muharram: Bulan Istimewa, Penuh Keutamaan, dan Penghapus Dosa
5
Khutbah Jumat Tahun Baru Hijriah: Kiat Memperbaiki Masa Depan
6
Khutbah Jumat: Memaknai Hijrah dalam Kehidupan
Terkini
Lihat Semua