Nasional

PRSSNI Nilai Draf RUU Penyiaran Diskriminasi terhadap Radio dan Televisi

Rab, 15 Mei 2024 | 07:05 WIB

PRSSNI Nilai Draf RUU Penyiaran Diskriminasi terhadap Radio dan Televisi

Ilustrasi televisi dan motor (Foto: id.solocity)

Jakarta, NU Online
Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) menilai draf Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penyiaran yang sekarang sedang dibahas di Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) diskriminasi terhadap radio dan televisi.


Ketua PRSSNI M Rafiq menyatakan bahwa mereka mendorong agar Undang-Undang Penyiaran direvisi, mengingat usianya yang sudah mencapai 20 tahun, karena dinilai telah ketinggalan zaman di tengah revolusi lanskap industri penyiaran.


Dia menambahkan bahwa disrupsi digital dan perubahan perilaku konsumen dalam mengkonsumsi media telah membuat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran tidak lagi relevan dengan kondisi yang disebutkannya sebelumnya.


"Masalahnya begitu draf revisinya saya terima, kita dapat, kok banyak hal-hal yang sangat mengganggu. Tadi sudah disebutkan oleh Ibu Ninik, Ketua Dewan Pers tentang pasal dan ayat yang melarang lembaga penyiaran menyiarkan menayangkan produk jurnalistik investigatif," ujarnya kepada dalam Jumpa Pers di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Selasa (14/5/2024).


Menurutnya, pembatasan tersebut dianggap bertentangan dengan semangat kemerdekaan pers serta Undang-Undang Pers. Baginya, itu merupakan bentuk diskriminasi terhadap radio dan televisi karena tidak diizinkannya mereka untuk membuat produk jurnalistik investigatif.Ā 


"Agak bingung juga," imbuhnya. "Terus yang kedua pasal dan ayat yang memperbolehkan KPI untuk menyelesaikan sengketa pers, itu sekali lagi bertentangan dengan Undang-Undang Pers. Kewenangan itu ada di Dewan Pers, agak bingung juga," jelasnya.


Ia mengatakan bahwa Dewan Pers dipilih oleh komunitas pers sehingga tidak ada campur tangan dari pemerintah atau legislatif dalam pembentukannya. Dengan demikian, benar-benar independen. Sementara itu, dia menyoroti bahwa KPI melakukan fit and proper test oleh DPR, sebuah lembaga yang menurutnya sangat politis, dan dia bertanya-tanya apakah lembaga tersebut bisa menyelesaikan sengketa jurnalistik.


Ia mencatat bahwa Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Profesional Siaran (SPS) disusun oleh asosiasi dan kemudian ditetapkan oleh KPI. Namun, ia menyoroti bahwa dalam draf RUU saat ini, P3 dan SPS sudah dimasukkan ke dalam isi undang-undang itu sendiri.


"Jadi asosiasi lembaga penyiaran nggak bisa punya keterlibatan lagi dalam penyusunan P3 dan SPS itu Jadi atas dasar itu Dewan Pers bersama dengan konstituen khususnya konstituen urusan penyiaran radio dan televisi menolak draf revisi penyiaran ini," pungkasnya.