Nasional

PCNU Kota Sorong Perkuat Tradisi Aswaja

Rab, 18 Juli 2012 | 09:44 WIB

Sorong, NU Online
Kota Sorong adalah sebuah kota di Provinsi Papua Barat. Di tengah kota yang dikenal dengan sebutan Kota Minyak ini ternyata mayoritas warga muslimnya berkultur Nahdlatul Ulama. NU telah berdiri di Sorong sejak tahun 1965, empat tahun sebelum ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). 
<>
“Memang kultur kita di Sorong adalah NU, tapi eksistensinya perlu kita tunjukkan, di antaranya dengan menggelar Seminar Nasional bertajuk “Revitalisasi Ahlussunnah wal Jama’ah Sebagai Patron Nahdlatul Ulama dalam Mewujudkan Indonesia Berkarakter,” Demikian kata Ketua Panitia Muhammad Rais Amin.

Acara yang berlangsung Ahad 15 Juli 2012 di Gedung Al-Akbar Convention Center ini kata ketua PCNU Kota Sorong H. Supran memang sudah dirancang sejak dua tahun lalu. Ia terinspirasi ketika mengikuti kajian Aswaja di arena Muktamar NU ke-32 di Makassar tahun 2010. 

“Memang selama ini kegiatan Pengurus NU Kota Sorong telah mengadakan silaturrahim seminggu sekali di beberapa masjid. Agar kegiatan itu lebih terarah maka dengan seminar ini diharapkan kita mendapatkan tambahan bekal ilmu yang bisa dijadikan pengangan, khususnya bagi pengurus dan warga NU,” katanya kepada NU Online.

Seminar sehari yang diikuti sekitar 800 peserta mulai dari Pengurus NU, Lembaga, lanjah, banom NU, tokoh masyarakat, majelis ta’lim, ormas-ormas Islam menampilkan tiga narasumber yakni Kiai Muhammad Idrus Ramli sebagai aktivis Lembaga Bahtsul Masail PBNU, Prof Dr KH Abustani Ilyas, M.Ag, Ketua STAIN Sorong; dan Dr Hamzah Khaeriyah, MAg sebagi intelektual NU Sorong.

Dalam materinya Prof Dr KH Abustani Ilyas, MAg mengatakan bahwa eksistensi NU senantiasa bersikap lunak terhadap beragam nilai atau tradisi yang telah menyatu dengan kehidupan masyarakat. NU tidak pernah memerangi tradisi selama tradisi tersebut tidak bertentangan secara prinsip dangan ajaran-ajaran Islam. 

Sementara Dr Hamzah Khaeriyah, MAg mengatakan, dalam Islam terma al-Ma’ruf berarti sesuatu yang mengandung makna kebaikan. Makna ini sebagai sesuatu yang dipandang hidup dalam masyarakat dan dipandang bernilai baik. Dan karena itu ada kaidah fiqhiyah yang dikenal dengan al-‘Adah Muhakkamah. Tradisi yang baik -sesuai prnsip-prinsip hukum Islam- dapat dijadikan sebagai pertimbangan hukum. Tentu saja tradisi yang dimaksud adalah sesuatu yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip agama Islam. Dengan demikian nilai-nilai kearifan lokal dapat dipandang sebagai unsur yang dapat mendukung penciptaan adat yang bakal menjadi pertimbangan hukum.

Hanya saja, lanjut Dr Abustani Ilyas, anehnya saat ini telah muncul pergeseran di kalangan umat Islam tentang pemahaman agama, yang sering memunculkan klaim bahwa dirinyalah yang sesuai dengan al-Qur’an dan al-Hadis, yang lain dianggap sesat, bahkan berani mengkafirkan terhadap sesama muslim saat menemukan sebuah tradisi lokal. Padahal tradisi tersebut bila diteliti subtansinya sesuai dengan ajaran Islam.

Lebih jauh narasumber yang lain Ustadz Muhammad Idrus Ramli menandaskan, justru Islam masuk Indonesia menghargai karakter bangsa. Tradisi yang ada dijadikan sarana dakwah. Adakalanya tradisi itu diislamisasi dan ada juga yang diamputasi. Hal ini sesuai dengan Islam turun ke dunia yang tidak antipati terhadap tradisi, seperti masalah kiblat ke Baitul Maqdis, puasa ‘Asyura, bangunan Ka’bah dan lain-lain.

Seusai salat Dhuhur seminar semakin hangat, karena persoalan tradisi khususnya beragam tradisi NU lebih dipertajam lagi oleh Ustadz Idrus dengan bebagai argumentasi sejarah, dalil-dalil Qur’an, hadis, ijma’ dan qiyas, yang ternyata tidak bertentangan dengan ajaran Islam, bahkan dianjukan oleh Islam.

Lebih dari itu, dengan panjang lebar Ustadz Idrus mengetengahkan hakikat Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) dan yang berhak menyandangnya. Sejarah dan dalil-dalil Aswaja selau menyertai uraiannya secara detail. Ahlussunnah Wa-Jama’ah yang diikuti oleh Nahdhatul Ulama (Aswaja NU), termasuk penjelasan mengenai madzhab teologi al-Asy’ari dan al-Maturidi yang diikuti oleh organisasi terbesar di Indonesia ini tak luput menjadi pemhasannya.

Seminar sehari ini menjadi lebih semarak dan mendorong peserta untuk lebih meperdalam materi seminar, karena dimeriahkan dengan bazar buku-buku terbitan Lajnah Ta’lif Wan-Nasyr (LTN) NU dan Penerbit Khalista, sebuah penerbit buku berjiwa NU bernafas Aswaja.



Redaktur    : Mukafi Niam
Kontributor: A. Ma’ruf Asrori.