Nasional HARI BATIK NASIONAL

NU Bangga Pakaian Khas Indonesia Tetap Bertahan

Jum, 3 Oktober 2014 | 06:03 WIB

Jakarta, NU Online
Hampir di setiap pertemuan, Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj mengenakan baju batik. Pejabat Rais Aam PBNU KH A Mustofa Bisri juga KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di masa hidupnya kerap berbatik saat mengahadiri ragam acara, baik kegamaan atau pertemuan lain.   
<>
Badan Otonom (Banom) NU seperti Muslimat, sekolah-sekolah di bawah naungan Lembaga Pendidikan Ma’arif NU, serta pengurus NU sendiri juga memiliki seragam batik.

“Saya mengucapkan syukur bahwa budaya pakaian Indonesia masih bertahan walaupun memasuki era globalisasi. Alhamdulillah kita dijajah Belanda selama 350 tahun, batik tidak hilang,” kata Kiai Said Aqil Siroj saat ditanya komentar tentang Hari Batik Nasional ketika ditemui NU Online di ruangannya, gedung PBNU, Jakarta, Kamis (2/10)

Menurut kiai asal Cirebon tersebut, batik adalah ciri khas Indonesia yang unik dan mengandung filosofi daerah dimana ia dibuat. Seperti batik Yogya, Cirebon, Solo, Pekalongan, dan daerah memiliki filosofinya masing-masing.

“Orang dulu membuat motifnya itu tidak sembarangan. Apalagi yang batik tulis. Konon katanya ketika akan membatik itu ada yang tirakat dulu sebab ada yang sampai dua tahun. Konon begitu yang batik tulis. Itu untuk keberkahan,” katanya menjelaskan.  

Ia menyebut juga bahwa orang yang membatik bukan hanya semata-mata mencari materi atau uang, tapi mempertahankan jati diri karena soal uang itu tak setimpal dari daya ciptanya.

Menjadi warga negara Indonesia, menurut kiai yang akrab disapa Kang Said ini adalah amanat dari Allah SWT. “Saya jadi orang Indonesia bukan pilihan kita. Tiba-tiba Tuhan menghendaki saya jadi orang Indonesia, itu kan anugerah. Amanah dari Tuhan,” tegasnya.

Batik, kata dia adalah produk budaya manusia Indonesia. Sedangkan budaya adalah pembeda antara manusia dengan binatang. Sebelum lahir, seseorang sudah berada dalam budaya tertentu dalam aturan tata cara pakaian dan tata cara hidup tertentu.

Lebih jauh Kiai Said mengatakan orang Indonesia orang yang berpakaian Arab tidak ada hubungannya dengan kedalaman keberagamaan seseorang. Karena di zaman Rasulullah saja yang menggunakan pakaian seperti itu adalah Abu Jahal dan Abu Lahab.

Dalam Islam, sambung Kiai Said, yang penting dalam berpakaian itu menutup aurat. “Mau sarung, kain, jilbab, kebaya, sari India, celana asal tidak terlalu ketat, yang penting menutut aurat. Adapun jika budaya bertabrakan dengan Islam, maka Islam meluruskan. Yang tidak bertabrakan, kita pertahankan,” tegasnya.  

Hal senada juga disampaikan Sekretaris Jenderal Ikatan Pencak Silat Nahdlatul Ulama Pagar Nusa M Nabil Harun. Ia merasa bangga dengan batik yang masih eksis sampai sekarang. Kebanggaanya dibuktikan dengan mengoleksi beragam batik dari hampir seluruh daerah Indonesia. “Sampai saat ini saya mengoleksi sekitar 300 batik,” katanya.

Sementara KH Mustofa Bisri di tempat berbeda mengatakan, mengenakan baju batik sebenarnya ittiba (mengikuti) jejak Nabi Muhammad SAW. Nabi tidak membuat pakaian sendiri untuk menegaskan diri sebagai Rasulullah. Tapi dia berpakaian sebagaimana orang Arab pada umumnya.

“Makanya Gus Dur, saya, make pakaian sini; pake batik,” ujarnya pada pengajian rutin komunitas Mata Air, di Jl Mangunsarkoro, Mentang, Jakarta, Rabu 26 Oktober 2011, sambil menunjuk baju yang dikenakannya: batik coklat motif bunga berbentuk limas berwarna hitam.

Salah satu badan PBB, UNESCO mengakui batik Indonesia sebagai warisan budaya dunia. Tanggal 2 Oktober ditetapkan sebagai Peringatan Hari Batik Nasional melalui Penerbitan Kepres No 33, 17 November 2009. Selamat Hari Batik. (Abdullah Alawi)