Nasional

I’adat al-Nazhar, Sistem Istinbath Hukum Terbaru dalam Bahtsul Masail NU

Rabu, 4 September 2024 | 07:00 WIB

I’adat al-Nazhar, Sistem Istinbath Hukum Terbaru dalam Bahtsul Masail NU

Seminar Sistem Istinbath Hukum Islam dan Bahtsul Masail, di Golden Palace Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), Selasa (3/9/2024). (Foto: NU Online/Suwitno)

Mataram, NU Online

Sistem istinbath hukum Islam atas problem keagamaan masyarakat berupaya terus diperbarui Nahdlatul Ulama dalam bahtsul masail. Di antara sistem baru tersebut ialah i’adat al-nazhar atau peninjauan kembali atas hasil bahtsul masail Muktamar dan Munas Alim Ulama NU yang termaktub dalam Peraturan Perkumpulan (Perkum) Nahdlatul Ulama Nomor 7 Tahun 2024 tentang Pembahasan dan Penetapan Hukum atas Masalah Keagamaan dan Kemasyarakatan.


I’adat al-nazhar sebagai sistem baru dalam bahtsul masail ditegaskan Katib Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Abdul Moqsith Ghazali saat mengisi kegiatan Seminar Sistem Istinbath Hukum Islam dan Bahtsul Masail, di Golden Palace Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), Selasa (3/9/2024).


“Di dalam Perkum sebetulnya bukan sesuatu yang baru, seluruhnya adalah benda lama, semuanya diberikan syarah oleh ulama NU. Tapi ada yang baru, yaitu i’adat al-nazhar, yaitu melakukan peninjauan kembali terhadap putusan-putusan NU yang dianggap tidak relevan lagi. Ini nomenklatur baru di dalam mekanisme pengambilan hukum di lingkungan NU,” ujar Kiai Moqsith Ghazali, Selasa (3/9/2024) di hadapan pengurus NU dan pengelola pondok pesantren se-Bali dan Nusra (Nusa Tenggara).


Dengan i’adat al-nazhar ini, lanjut Kiai Moqsith, NU dapat meninjau kembali terhadap keputusan-keputusan lama, baik yang diputuskan di dalam forum Munas Alim Ulama maupun Muktamar NU. 


Sistem peninjauan kembali terhadap putusan bahtsul masail NU, sebab situasi, kondisi, dan konteks sudah berubah sehingga menuntut dilakukannya peninjauan kembali.


“Itu yang disebut taghayyur al-azminah wa al-amkinah, itu kalau cukup dalam perubahan ruang dan waktu. Hukum bisa berubah karena ada pergeseran ‘illat hukum atau kalau ada perbedaan kesalahan memahami realitas, makanya tashawur ini menjadi penting agar tidak salah dalam memahami realitas," jelasnya.


Hal tersebut merupakan bagian dari Perkum yang diputuskan dalam Konbes NU tahun 2024 di Yogyakarta. "Kebetulan saya diminta memimpin sidang Perkum bidang keagamaan ini. Selebihnya yang ada di dalam Perkum merupakan syarah hasil Munas Alim Ulama NU tahun 1992 di Lampung," lanjut Kiai Moqsith.


I’adat al-nazhar ini tertuang dalam Peraturan Perkumpulan (Perkum) Nahdlatul Ulama Nomor 7 Tahun 2024 tentang Pembahasan dan Penetapan Hukum Atas Masalah Keagamaan dan Kemasyarakatan pasal 3 huruf (f). “Pengurus Besar Harian Syuriyah mengusulkan I’adat al Nazhar (peninjauan kembali) atas hasil bahtsul masail Muktamar dan Musyawarah Nasional Alim Ulama sebelumnya untuk dibahas pada Muktamar dan Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama berikutnya”.


Pasal 3 tersebut dijelaskan lebih lanjut dalam pasal 16, “I’adat al-nazhar (peninjauan kembali) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 Huruf (f) dapat dilakukan setelah adanya pembahasan mendalam dan ditemukan: (a) ketidaktepatan dalam memahami nash, dalil, dan/atau realitas (waqi’). (b) terdapat ‘illat baru dikarenakan perubahan ‘urf dan konteks (taghayyur al-azminah wa al-amkinah)”.


Dalam memaparkan sistem istinbath hukum Islam dalam bahtsul masail, Kiai Moqsith Ghazali panel bersama Guru Besar Hukum Islam UIN Mataram, Prof Miftahul Huda dan dipandu oleh Wasekjen PBNU, H Silahuddin. Miftahul Huda memandang NU sebagai perkumpulan yang selalu berupaya memberikan solusi atas problematika masyarakat.


Miftahul Huda menggarisbawahi narasi Fiqih Peradaban yang ditawarkan oleh NU untuk menjawab tantangan zaman yang semakin kompleks seiring percepatan kemajuan teknologi dan keterbukaan informasi.


“Bahtsul masail di era baru bisa diupayakan agar relevan dengan temuan sains dan jalan pikiran manusia modern,” kata Miftahul Huda.


Sebab, menurutnya, relevansi tersebut bisa menjadi solusi konkret atau respons positif atas problem sosial yang ada. “Jadi tidak hanya berupa judgement dan wacana teoretik,” jelas Miftahul Huda.