Fragmen

Surat HAMKA untuk KH Mahfudz Shiddiq tentang Ijtihad dan Taqlid

Ahad, 8 Juli 2018 | 12:00 WIB

Surat HAMKA untuk KH Mahfudz Shiddiq tentang Ijtihad dan Taqlid

KH Mahfudz Shiddiq (kiri) dan Hamka

Berbeda organisasi dan pemahaman merupakan hal biasa bagi tokoh-tokoh umat Islam pada masa lalu. Berdebat terbuka atau polemik di surat kabar mereka lakukan tanpa mengurangi kehangatan saat bertemu di satu kesempatan. Ada yang lebih tinggi dari organisasi yaitu ukhuwah islamiyah.  

Ada kisah saling menghormati antara tokoh NU dan Muhammadiyah yaitu antara KH Idham Chalid (pernah Ketum PBNU) dan Haji Abdul Malik Karim Amrullah yang dikenal Buya HAMKA (tokoh Muhammadiyah). 

Konon kedua tokoh itu pernah berjamaah Shalat Subuh. Kiai Idham menjadi imam. Meskipun ia orang NU, memilih tidak membaca qunut karena jamaah di belakangnya ada Buya HAMKA. Sebaliknya ketika Buya HAMKA menjadi imam Shalat Subuh, ia justru membaca qunut. 

Jauh sebelumnya, di tahun 1940, saat menjadi pengarang Pedoman Islam di Medan, Buya HAMKA juga mengapresiasi pandangan Ketua Umum Hoopdbestuur Nahdlatoel Oelama KH Mahfudz Shiddiq tentang ijtihad dan taqlid. Apresiasi itu disampaikannya dalam bentuk surat.

Berikut surat HAMKA untuk kiai asal Jember tersebut yang dimuat Berita Nahdlatoel Oelama No 17 tahun 9 edisi 4 Juli 1940 dengan ejaan yang disesuaikan: 

YTH K. Mahfudz Shiddiq 


Assalamau’alaikum wr.wb.
Karangan kiai yang akhir, ijtihad dan taqlid sudah saya terima, dan saya baca isinya dengan teliti. Setelah saya baca dan banding, dalam garis besarnya, boleh dikatakan bersamaan paham kita dalam hal ini. Karena menyatakan paham sebagai paham kiai inilah, maka saya mendapatkan pukulan dari kiri dan kanan sehingga dituduh tidak “kaum muda” lagi. 


Moga-moga karangan kiai ini tersiarlah sebanyak-banyaknya dalam kalangan umat kita sehingga tidak terdapat lagi ifrath demikian juga tafrith di dalam memahamkan agama. 
Kalau tidak ada halangan insya Allah akan saya bicarakan (resensi) di dalam Pedoman Islam. Sambutlah salam saya. 


Wassalam


H. Abdulmalik K.A.

Pengarang Pedoman Islam di Medan

Sebagai catatan, pada masa-masa itu, umat Islam diramaiakan dengan perdebatan furu'iyah berikut ijtihad dan taqlid. Hal itu merupakan gelombang yang terjadi di Timur Tengah kemudian dicopy paste di Hindia Belanda.

Mereka kemudian mengarahkan sasarannya kepada tradisi umat Islam Nusantara yang telah berkembang berabad-abad. Istilah bidah, kolot, tradisional, tua pun mulai dilekatkan untuk membedakan dengan mereka yang mengklaim murni, baru, modern, dan muda. Jargon mereka, kembali ke Al-Qur'an dan hadits.

Sasaran itu tiada lain diarahkan kepada NU sebab dengan tegas di AD/ART NU menyebutkan sebagai kalangan yang bermazhab bepegang kepada salah satu dari empat mazhab. 

Tentu saja ulama-ulama NU mempraktikkan bermazhab itu bukan tanpa dalil dari Al-Qur'an dan hadits juga. Diserang oleh kalangan lain, para kiai NU mengemukakan argumentasi-argumentasinya. Salah satunya dalam majalah Berita Nahdlatoel Oelama.

KH Mahfudz Shiddiq, yang pada musa mudanya pernah nyantri dari Makkah dan Tebuireng tampil sebagai pembela bermazhab dengan mengupas ijtihad dan taqild di majalah itu. (Abdullah Alawi)