Daerah

Di Pattani Thailand Terdapat Masjid Gresik dan Kampung Jawa (2)

Ahad, 27 Mei 2018 | 11:00 WIB

Jember, NU Online
Seperti disampaikan banyak pengamat, bahwa sebaran Islam di belahan dunia, tidak sedikit yang memiliki kesamaan. Ini menjadi pertanda bahwa berbarengan dengan islamisasi, juga ada misi tertentu yang diemban para penyebar agama.

Seperti di Thailand. Ternyata mempunyai hubungan darah dengan Muslim Indonesia, khususnya Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja). Hal tersebut secara kasat mata bisa dilihat dari kesamaan amalan-amalan keseharian yang hingga kini masih tetap dipertahankan, termasuk jumlah shalat tarawih yakni 20 rakaat. 

Bahkan di Provinsi Pattani, dekat dengan perbatasan Narathiwat, ada  sebuah kampung Jawa. Mereka Muslim dan menjalankan agama seperti yang dilakukan Aswaja Indonesia.

“Mereka juga bisa bahasa Jawa,” kata Direktur Nuris International Offiice, Imam Sainusi kepada NU Online di Kompleks Pondok Pesantren Nurul Islam (Nuris), Antirogo, Jember, Jawa Timur, Sabtu (26/5).

Alumni Universitas Jember tersebut belum lama ini mengunjungi Thailand sebagai pendamping program pertukaran pelajar yang dikemas dalam Nuris Student Exchange Programe (NSEP).

Bukti lain tentang adanya benang merah antara Muslim Indonesia dan Thailand adalah berdirinya masjid Kerisik (di Pattani). 

Dari penelusuran Imam Sainusi dan penuturan ulama setempat, masjid tersebut sebenarnya diartikulasikan masjid Gresik. Namun karena lidah orang Thailand cukup sulit untuk mengeja bahasa Indonesia, akhirnya tertulis Kerisik. Gresik sendiri dikenal sebagai salah satu daerah yang ditempati makam para sunan (Wali Songo).

Menurut Imam Sainusi, masjid tersebut didirikan oleh Sultan Muzaffar Syah pada tahun 1514 M. Masjid itu tanpa atap karena pernah dibom oleh penguasa Thailand. Kendati demikian, masjid Kerisik masih dipakai oleh muslim setempat untuk shalat Jumat dan shalat Id.

“Saat dibom, kubahnya tidak hancur. Konon, kubah tersebut saat ini tersimpan di Prancis. Bahan bagunannya juga aneh. Katanya, itu berasal dari campuran putih telur. Mungkin karena dulu tidak ada semen,” jelasnya.

Masjid dimaksud saat ini dijadikan destinasi wisata religi, meski masih dipakai untuk kegiatan ibadah.

Sejak dibom, keberadaan masjid tidak boleh direnovasi oleh Muslim setempat untuk menghindari memudarnya corak aslinya. “Di samping untuk mengenang kekejaman penguasa,” pungkasnya. (Aryudi Abdul Razaq/Ibnu Nawawi)