Warta

Tradisi Berpindah-pindah Masjid bagi Muslim Maroko

Sen, 31 Agustus 2009 | 20:33 WIB

Rabat, NU Online
Di antara kegemaran orang Maroko dalam melaksanakan shalat tarawih adalah banyak yang berpindah-pindah masjid, setiap malamnya dari masjid satu ke masjid yang lainnya. Mereka pun bangga bila mendapati imam tarawih yang dianggap bagus membaca Al-Qur’annya.

Fanatisme simbol beragama pun kian akut mewarnai aktivitas ibadah. Mereka bangga memakai Jallabah (jubah khas Maroko) dan mengutamakan warna putih sesuai sunnah Rasulullah. Biasanya di sepuluh hari terakhir (bulan Ramadhan) dengan pakaian tradisional itu, aksi berpindah-pindah masjid pun kian meningkat, bahkan dalam satu malam pun satu orang bisa berpindah-pindah tiga masjid atau lebih untuk ber'Ă­tikaf.<>

Demikian dilaporkan H Nasrulloh Afandi Lc, anak muda NU yang sedang merampungkan thesisnya di jurusan fiqih kontemporer, Pascasarjana universitas Qodi Iyadh Maroko.

Mayoritas pemukiman penduduk di sini sangat padat, jadi dalam satu lingkungan hay (pemukiman) saja bisa terdapat dua sampai tiga masjid atau lebih. Kian memudahkan untuk berpindah-pindah masjid. Tidak sebagaimana masjid di Indonesia yang umumnya terpisah jauh antar desa yang bertetangga.

Bahkan banyak pula yang menggunakan kendaraan bermotor demi untuk memburu masjid yang diinginkannya.

Perombakan Imam  

Setiap bulan Ramadhan, untuk imam shalat tarawih, mayoritas atau bahkan hampir di setiap masjid mengalami "perombakan", dengan menurunkan para imam hafal Al-Qur’an yang  masih muda usianya.

Yang tak jarang mereka adalah para master atau doktor bidang studi Islam jebolan Maroko maupun dari negeri tetangga. Pengaturan ini juga dikordinir oleh Departemen Agama daerah masing-masing.

Hal itu selain faktor untuk mempercepat gerakan shalat, juga karena realitas di Maroko para ustadz muda belakangan ini jauh lebih rapih tajwidnya dan enak suara bacaan Al-Qur’annya, dibanding para ustadz (imam masjid) yang sudah sepuh usianya.

"Sangat Asing yah cara bacaan Al-Qur’an imam di masjid-masjid Maroko," kata Vika Rifqah Khasanah mahasiswi studi islam universitas Qadi Iyadh Maroko asal Tegal Jawa Tengah  yang mendalami Ilmu Al-Qur’an dan telah hafal separuh lebih dari totalitas Al-Qur’an ini.
  
Apalagi para imam masjid yang sepuh usianya itu, banyak yang hanya berlomba menghafal dan kurang memperhatikan tajwid-nya, kata ustadz Muhammad Tuhami, Imam Masjid di kawasan perumahan elite di jantung kota  Gueliz, propinsi Marrakesh, Maroko, kawasan yang mayoritas penduduknya warga negara asing itu.

Kalaupun ada imam-imam masjid yang sepuh usianya dan rapih tajwidnya, namun mereka cenderung menggunakan bacaan Imam Warats dari Imam al-Azraq, sehingga terlalu panjang tanda bacanya (Mad-nya) dan terkesan terputus-putus bacaannya. Jadi memakan waktu dalam shalat tarawih.

"Sedangkan para imam masjid muda mayoritas menggunakan cara baca imam Warats dari imam al-Ashbahani yang pendek Mad,-nya dan dengan gaya mengalir serta lebih empuk di telinga," kata ustadz Muhammad Tuhami yang juga pernah bertahun-tahun menjadi imam "Masjid Syeikh Jazuli", masjid di area makam pengarang kitab Dalail al-Khoirot, kitab yang tak asing lagi di kalangan kiai pesantren Indonesia itu.

Pada bulan Ramadhan di Maroko, jika imam membaca Al-Qur’an "apa adanya" maka umumnya kekurangan jamaah tarawih. Apalagi jarang sekali ada Musholla seperti di Indonesia, sehingga masjid adalah satu-satunya tempat pusat ibadah di setiap lingkungan tempat tinggal di Maroko. Jadi faktor imam menjadi penentu banyak-sedikitnya jamaah. (nam)