Warta

Subsidi Pangan dan BBM Tak Boleh Dicabut

Jum, 28 Maret 2008 | 07:05 WIB

Jakarta, NU Online
Kenaikan harga pangan dan energi telah menyebabkan subsidi yang harus dikeluarkan oleh pemerintah semakin besar sehingga memberatkan APBN. Namun demikian, komponen subsidi pangan dan BBM ini tak boleh dicabut.

“Tidak boleh ada pilihan, apakah masyarakat akan disubsidi energi atau subsidi pangan. Bagi kelompok masyarakat bawah, dua subsidi ini tidak bisa diganggu gugat. Kita tidak boleh meminta kepada masyarakat miskin, kalau kami minta beras murah, berarti minyak mahal,” kata Direktur Econit Dr. Hendri Saparini kepada NU Online baru-baru ini.<>

Pilihan kebijakan yang harus diambil adalah yang tidak menganggu dua hal tersebut. “Modifikasi kebijakan yang nanti akan menaikkan harga energi atau pangan di masyarakat tidak akan menjadi solusi. Yang harus dilakukan pemerintah adalah menaikkan pendapatan dulu, barulah kita berfikir bagaimana menata industri energi kita,” tambahnya.

Sebenarnya, kenaikan harga pangan dan energi ini sudah bisa diprediksi beberapa tahun lalu, namu Hendri menganggap pemerintah telmi sehingga masyarakat miskin yang harus kembali menjadi korban.

“Kesalahan ada di pemerintah karena puluhan tahun tidak memikirkan energi alternatif. Tapi kalau sekarang kemudian pemerintah keteteran, kenapa yang harus menanggung beban pertama kelompok masyarakat bawah,” ujarnya.

Harga pangan tinggi karena ada pergeseran dari sisi permintaan. Saat ini manusia harus bersaing dengan pembuatan energi. Kemudian ada peningkatan pendapatan masyarakat di India dan China. Di sisi supply sendiri, memang ada penurunan, ada biaya stok, kenaikan harga minyak dan lainnya.

Dikatakan oleh Hendri bahwa beban ini harus ditanggung bersama-sama, atau ada burden sharing. Dalam hal ini pemerintah harus mengikhlaskan efisiensi anggaran, tetapi tidak pukul rata.

“Pemerintah daerah yang selama ini, mendapatkan willfall profit, tidak perlulah daerah ditambah wilfall profitnya karena tanpa perencanaan hanya akan masuk ke SBI. Makanya pemerintah daerah juga harus menanggung beban, tetapi untuk menyuntikkan ekonomi sehingga ekonomi bisa berjalan,” tandasnya.

Selanjutnya yang juga diminta untuk share burder ini adalah kreditor. “Selama puluhan tahun, Indonesia selalu membayar utang dengan tertib. Ini saatnya bagi kita untuk sekali-sekali, minta keringanan,” tandasnya.

Ia menjelaskan beban utang dan bunga yang harus dibayar sebesar 158 trilyun yang harus kita bayar sementara tambahan subsidi hanya puluhan trilyun. 10 trilyun untuk listrik dan 10 trilyun untuk BBM.

“Jangan terus dicari-cari alasan yang kemudian kita harus melakukan disinsentif untuk PLN, tapi kita harus juga mengurangi impor BBM. Lho kita ini sebenarnya sedang menjaga beli masyarakat dan daya saing industri atau pokoknya kita menaikkan harga BBM. Ini menjadi lain,” katanya. (mkf)