Taushiyah

Pidato Pengukuhan Prof DR KH M Tholhah Hasan Sebagai Guru Besar Unisma Malang

Sen, 19 Maret 2007 | 14:33 WIB

MEMBANGUN CITRA PERADABAN ISLAM MELALUI PENDIDIKAN

I. Wawasan umum

Untuk setiap umat diantaramu, Kami (Allah) telah memberikan aturan dan sistem --dalam kehidupan-- Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya sebagai umat yang satu (yang sama), tetapi Allah hendak menguji kemampuan dalam --mendayagunakan-- apa yang diberikan kepadamu. Maka berlomba-lombalah berbuat kebaikan.” (Al-Ma’idah: 48)

Pada saat Samuel P. Huntington mengeluarkan tesis “The Clash of Civilization” kita mulai lebih menyadari dan dapat melihat posisi peradaban Islam di tengah-tengah konstalasi peradaban global dewasa ini. Huntington menyebutkan di dunia sekarang ini terdapat sembilan peradaban yang masih eksis, yaitu peradaban Barat, Konfusianis, Jepang, Islam, Hindu, Slavik, Ortodoks, Amerika Latin, dan Afrika. Dari peradaban-peradaban tersebut ada tiga peradaban besar, yaitu: Peradaban Barat, peradaban Cina dan peradaban Islam.

Menu<>rutnya, kontradiksi-kontradiksi antar peradaban tersebut akan menciptakan konflik yang berakar dari benturan peradabann besar tersebut, yakni: "Hegemoni/arogansi peradaban Barat, fanatisme peradaban Cina, dan intoleransi peradaban Islam." Menurut pengamatan Huntington, bahwa kolaborasi kultural antara Islam dan Cina adalah sesuatu yang bisa terjadi setiap saat, karena adanya kedekatan kultural di antara keduanya. Dan hal tersebut sangat ampuh untuk mengkikis perbedaan-perbedaan lain yang ada di antara keduanya, dan dapat bersatu melawan hegemoni Barat.

Meskipun tesis Huntington menyebutkan tiga poros peradaban yang menjadi mainstream di abad modern saat ini, namun ada dua kutub yang seringkali dipertentangkan sedara diametral, yaitu perdaban Barat versus peradaban Islam. Wacana benturan peradaban ini didasari fakta-fakta tentang adanya perbedaan fundamental antara kedua peradaban tersebut, dilihat dari "dimensi ontologis, epistemologis maupun aksiologis."

Perkembangan peradaban Barat sekarang memang lebih maju dibandingkan dengan peradaban Islam, terutama apabila indikator yang dipakai untuk mengukur kemajuan tersebut berupa perkembangan ekonomi, teknologi, dan stabilitas kehidupan sosial-politik yang dicapai dunia Barat sekarang. Namun apabila dikaji lebih dalam lagi, kemajuan sains dan teknologi yang menjadi basis fundamental bangunan peradaban Barat, justeru di sisi lain menelantarkan dunia di ambang pintu krisis global yang semakin menghawatirkan. Krisis global yang dihadapi umat manusia di planet bumi ini telah menyentuh hampir seluruh dimensi kehidupan, seperti pada bidang kesehatan, lingkungan hidup, teknologi, politik, ekonomi, dan sosial-budaya. Krisis yang terjadi di dunia sekarang juga melanda dimensi-dimensi intelektual, moral dan spiritual.

Memahami peradaban Barat dengan segala kerapuhan fundamentalnya tersebut, menyadarkan kita para pemikir dan Ulama Islam, dalam menggunakan peluang besar ini untuk membangun peradaban alternatif yang berdimensi: iman, moral dan spiritual, di samping sains dan teknologi dalam arti yang luas. Agenda utama yang harus dikedepankan antara lain membangun kesadaran eksistensial manusia yang tidak terpisahkan dari Tuhan, dan dari alam semesta yang melingkunginya. Keyakinan terhadap kehadiran Tuhan dalam seluruh dimensi kehidupan ini akan memberikan kekuatan sekaligus kedamaian dalam hati setiap manusia yang menjadi aktor dan pendukung setiap peradaban.

Belajar dari realitas obyektif sejarah peradaban Islam yang dibangun mulai dari masa hidup Nabi Muhammad saw dan beberapa abad sesudahnya, yang melakukan reformasi peradaban secara spektakuler dengan mengambil starting point secara tepat, yakni reformasi teologi, ideologi, epistemologi dan kultural. Bertolak dari realitas obyektif itulah, maka untuk membangun kembali peradaban Islam sekarang dan masa depan, diperlukan upaya-upaya rekontruktif dengan mempertimbangkan langkah-langkah strategis sebagai berikut:

Pertama, pembumian wahyu melalui kontekstualisasi ajaran Islam secara kritis dan benar. Kedua, eksplorasi, penguasaan, dan pengembangan sains dan teknologi dalam paradigma keimanan dan moral. Ketiga, membangun semangat pembaharuan (tajdid) dalam semua sektor untuk pencerdasan dan pemberdayaan umat. Keempat, mempengaruhi dan mendorong adanya political will dari pihak penguasa untuk memberikan suasana yang kondusif. Kelima, menghilangkan dekotomi dan antagonitas keilmuan antara ilmu-ilmu naqliyah dan ilmu-ilmu ‘aqliyah. Keenam, membangun moralitas umat yang didasarkan pada nilai-nilai dan karakter Islam yang religius, etis dan humanis.

II. Globalisasi, Suatu Fenomena dan Tantangan

Arnold J. Toynbee, sejarawan Inggris terkenal itu mengatakan: "Para ahli sejarah di masa mendatang akan berkata, bahwa kejadian yang besar di abad 20 adalah pengaruh kuat peradaban Barat terhadap semua masyarakat di dunia. Mereka juga akan berkata, bahwa pengaruh tersebut sangat kuat dan bisa menembus serta ke mana-mana dan mampu menjungkirbalikkan korban-korbannya." Apa yang diprediksi Toynbee tersebut, sebagian besar sudah terwujud dengan ber geraknya arus peradaban Barat ke seluruh masyarakat di dunia, arus itulah yang sekarang dikenal dengan "globalisasi".

Menurut Akbar S. Ahmad & Hastings Donnan yang memberi batasan, bahwa "globalisasi pada prinsipnya mengacu pada perkembangan yang cepat di dalam teknologi komunikasi, transformasi dan informasi, yang bisa membawa bagian-bagian dunia yang jauh dapat dijangkau dengan mudah." Para pakar, khususnya para futurologi telah memberikan berbagai skenario mengenai kehidupan di era globalisasi ini. Ada beberapa karakteristik yang mengidentifikasikan ciri-ciri kehidupan global sekarang ini. Prof. HAR Tilaar, misalnya menyebutkan 4 (empat) ciri utama dunia era globalisasi, yaitu:

1) Dunia tanpa batas (borderless world). 2) Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi ( progress of science and technology ) dan aplikasinya di dalam kehidupan manusia. 3) Kesadaran terhadap hak dan kewajiban asasi manusia ( human right and obligations ). 4) Kerjasama dan kompetisi antar bangsa ( mega-competition society ).

Dengan adanya kemajuan sains dan teknologi, terutama teknologi informasi, maka sekat-sekat kehidupan manusia menjadi sirna, dunia seakan-akan menjadi satu. Dengan demikian komunikasi antar manusia, hubungan antar masyarakat dan antar bangsa menjadi transparan. Sebagai contoh, ketika terjadi pemuatan karikatur Nabi Muhammad di salah satu tabloit di Skandinavia, maka dalam waktu beberapa jam saja sudah terjadi gelombang reaksi hampir di seluruh dunia Islam. Kemajuan sains dan teknologi yang begitu cepat, telah melahirkan suatu masyarakat yang baru, yang disebut knowledge society. Teknologi komunikasi telah membantu penyebaran ilmu pengetahuan, dan selanjutnya membantu umat manusia untuk mengenal dan menguasai ilmu pengetahuan dengan lebih mudah, lebih cepat, lebih luas, dan lebih up to date.

Di sisi lain, rontoknya beberapa ideologi komunis dan ideologi-ideologi otoriter yang lain, membawa kemunculan nilai-nilai kemanusiaan dan hakikat serta martabat manusia sebagai sesuatu yang harus dihormati. Setiap manusia wajib memiliki rasa tanggungjawab memelihara kehidupan masyarakat yang bebas dari ketakutan, bebas dari paksaan, dan bebas mewujudkan hakikat dan martabat hidupnya sendiri dengan memperhatikan kepentingan hidup bersama orang lain.

Globalisasi juga membawa pada pencapaian masyarakat yang terbuka, yang memungkinkan adanya kerjasama antar masyarakat dan antar bangsa. Suatu masyarakat yang tidak dapat hidup tanpa kerjasama dengan bangsa lain. Dalam hidup bersama yang memberikan kesempatan yang sama kepada setiap individu dan setiap kelompok, akan menimbulkan terjadinya kompetisi antar mereka. Yang kuat daya saingnya dan unggul kualitasnya akan eksis dan berkembang, sedangkan yang lemah daya saingnya dan rendah kualitasnya akan termarginalkan/terpinggirkan.

Globalisasi mempunyai dampak positif seperti yang dipaparkan dimuka, tetapi juga mempunyai dampak negatif, antara lain memunculkan agama baru yang disebut “quasi religions” dan konsumerisme, yang mempengaruhi sikiap hidup dan perilaku manusia mengejar kehidupan materialistik dan hidonistik (mengejar kesenangan dan kenikmatan materi), munculnya gaya hidup bebas dalam hubungan seksual, penggunaan obat-obat terlarang dan kriminalitas. Globalisasi juga dapat mengancam budaya bangsa dan menggusurnya, bahkan dapat menggantikan budaya lokal atau budaya nasional dengan budaya global. Hal demikian menjadi berbahaya, karena hancurnya budaya lokal dan budaya nasional akan menyebabkan lunturnya identitas atau kepribadian bangsa. Hal yang sama, dominasi budaya global juga dapat menggusur tradisi dan sistem nilai yang bersumber dari ajaran dan nilai-nilai agama manapun.

Menurut Prof. Umar Hasyim (mantan Rektor Univ. Azhar Cairo), "Pada dasarnya globalisasi itu menginginkan agar pandangan hidup semua orang dan bangsa, juga sikap dan perilaku mereka, serta sistem nilai yang dianut, semuanya mengikuti arah dan paradigma yang telah dan sedang dibangun oleh peradaban Barat yang berbasis pada faham sekularisme, rasionalisme dan kapitalisme. … Globalisasi kulitnya berbungkus ”rahmat” tapi dalamnya berisi "‘adzab”. dan hal tersebut menuntut adanya tingkat kecerdasan dan kecermatan serta kearifan yang lebih tinggi dari para pemikir dan pemuka agama dalam menempatkan agama dan umatnya di tengah-tengah pusaran arus globalisasi.”

Respon masyarakat dunia menghadapi arus globalisasi memang bermacam-macam, ada yang secara a priori menolak apa saja yang dating dari Barat dan negara-nega-ra industri maju. Sedangkan yang lain kagi secara bersemangat menerimanya tanpa batas dan tanpa syarat. Bagi umat Islam, sejalan dengan pesan-pesan agamanya, seharusnya kita bersikap, tidak begitu saja menerima semua pemikiran secara keseluruhan, dan juga tidak begitu saja menolaknya secara keseluruhan, kita dapat mengambil mana yang memberi manfaat dan maslahah, dan menolak mana yang merugikan. Sebab dalam prinsip ajaran Islam, sebagaimana pernyataan Nabi Muhammad saw:

"Al-Hikmah (kebijakan/pengetahuan) itu aset orang mukmin yang hilang, dimana saja dia menemukannya, dia lebih berhak untuk mengambilnya.”(HR At-Turmudzi dan Ibnu Majah).

"Janganlah seseorang diantaramu itu menjadi suka ikut-ikutan, yang berkata: Saya bersama-sama orang lain, jika mereka berbuat baik, maka saya juga berbuat baik. dan jika mereka berbuat jelek, maka sayapun akan berbuat jelek. Tapi mantapkan jiwamu, apabila orang-orang melakukan kebaikan maka kamu supaya berbuat kebaikan juga, dan apabila mereka berbuat jelek, maka kamu harus menjauhi kejelekan itu." (HR At-Turmudzi)

III. Maju dan Mundurnya Sebuah Peradaban

Dalam sejarah peradaban umat manusia, pernah muncul peradaban-peradaban besar seperti: Babilonia, Mesopotamia, Yunani kuna, Mesir kuno, dan lain-lain, yang umumnya sekarang sudah tidak eksis lagi. Kemudian datang peradaban-peradadan yang baru, seperti: Romawi, Parsi, Hindu, Islam, Cina dan Barat, yang sebagian sudah tenggelam dalam arus sejarah.

Para sosiolog dan antropolog, seperti Ibnu Khaldun, Max Weber, Emile Durkhheim, Pitrim Sorokin, Arnold Toynbee, Malik bin Nabi, Oswald Spengler, Mahmud ‘Aqqad.A.L.Kroeber, Fazlurrahman, Vaclac Havel, J.L.Esposito, Muhammad Imarah, dan lain-lain telah memperdebatkan masalah peradaban ini dalam karya-karya akademik mereka, yang menampilkan multi-arti dan beragam definisi, yang saya tidak ingin terlalu jauh terlibat dalam diskursus ini. Tapi ada beberapa substansi dasar yang dapat mengisi pengertian tentang peradaban, yaitu:

1. Bahwa peradaban diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berakal dan berbudi untuk memberi jawaban atas tantangan yang dihadapi dalam kehidupannya.

2. Peradaban merupakan milik bersama dari suatu masyarakat atau suatu bang-sa tertentu, yang diwariskan dari satu generasi ke generasi penerusnya.

3. Peradaban dilandasi oleh keyakinan dan tata-nilai, dan mempunyai arah serta orientasi tertentu.

Agama, (terutama agama-agama besar dunia, seperti Yahudi, Kristen, Islam, dan Hindu, Budha serta Konfusianisme/Taoisme) memberikan karakteristik utama yang mencirikan sebuah peradaban, seperti yang dikatakan Christopher Dawson: "Bahwa agama-agama besar adalah bangunan-bangunan dasar bagi peradaban-peradaban besar “. Bahkan menurut Weber, peradaban modern yang berkembang di Ameika Serikat sekarang yang kapitalistik itu, tidak lepas dari nilai-nilai Protestianisme yang mendasarinya.

Keimanan, nilai-nilai dan norma-norma agama, pada dasarnya mempunyai kemampuan untuk membentuk karakter, kepribadian, sikap dan prilaku pemeluk-pemeluknya, dan dapat memberikan sugesti, dan memberikan kekuatan sugestif untuk melakukan hal-hal yang diyakininya benar dan perlu. Lemah dan kuatnya keimanan, merasuknya nilai-nilai dan norma-norma agama dalam jiwa pemeluknya, akan menyebabkan perubahan karakter, kepribadian, sikap dan perilaku mereka, yang selanjutnya akan mempengaruhi ketahanan peradaban yang mereka warisi, terutama dalam menghadapi tantangan-tantangan internal maupun eksternal, dan dalam memberikan jawaban-jawaban tepat terhadap tantangan-tantangan tersebut.

Arnold Toynbee dalam A Study of History-nya mengatakan, "bahwa berkembang dan tenggelamnya peradaban itu akan ditentukan oleh adanya "challenges and respons". Peradaban yang sanggup memberikan jawaban yang tepat terhadap tantangan yang dihadapi, dia akan terus eksis dan berjaya, tetapi peradaban yang tidak mampu memberikan jawaban yang tepat, dia akan collap dan lenyap."

IV. Citra Peradaban Islam Dewasa Ini

Di satu fihak, ada yang menghendaki untuk memarginalkan peradaban Islam di tengah-tengah kehidupan modern sekarang ini, dengan membangun image bahwa peradaban Islam itu intoleran, bahwa masyarakat Islam itu umumnya egoistik, tidak bisa hidup bersama dengan komunitas non-Muslim, dan tidak dapat menyesuaikan diri dengan perubahan zaman, yang kesemuanya secara diametral bertentangan dengan peradaban Barat. Seorang pengamat peradaban Amerika Serikat, Daniel Pipes dalam tulisannya "In The Path of God: Islam ang Political Power", menggeneralisasi Islam, dengan pengamatannya terhadap sikap-sikap awal gerakan Wahabi, ia katakana, bahwa mereka (orang Islam) itu menolak modernisasi sebagaimamereka menolek Westernisasi, mereka melemparkan televisi ke sungai, melarang mengenakan jam tangan dan telepon…. Umat Islam hanya mempunyai satu pilihan karena modernisasi menuntut adanya Westernisasi, Islam tidak mampu menawarkan sebuah jalan alternative menuju modernisasi tanpa Westernisasi. Peradaban modern harus diperkenalkan agar Islam dapat belajar darinya …..Hanya apabila umat Islam secara eksplisit menerima cara-cara Barat, mereka akan berada dalam posisi yang memungkinkan untuk dapat mengejar ketertinggalan dan kemudian berkembang maju."

Di fihak lain (seperti John Esposito) melihat peradaban Islam sebagi peradaban besar yang eksis, bahkan ada indikasi menguat dan akan menjadi peradaban alternatif di samping peradaban Cina. Banyak alasan-alasan dari pendapat ini, antaralain:

1. Perkembangan jumlah populasi umat Islam yang terus meningkat dan menye-bar keseluruh penjuru dunia. (dapat dilihat dalam laporan David B. Barret dalam A Comparative Study of Churches and Religions in the Modern World. 1982. Lihat table halaman: 23 ).

2. Kekayaan Sumberdaya Alam yang terdapat di negara-negara Islam, atau berpenduduk mayoritas Muslim sangat besar, seperti minyak-tanah dan gas bumi, hasil hutan, kelapa sawit, karet alam, dan mineral (emas, timah dan batu bara).

3. Pendidikan umat Islan sejak abad XX menunjukkan kecenderungan terus meningkat. Jumlah buta huruf di dalam masyarakat Islam terus menurun (kecuali di beberapa negara Afrika Tengah). Para ilmuwan dan pakar-pakar Muslim terus berkembang. Kepakaran mereka juga memperoleh pengakuan dunia antara lain dengan memperoleh hadiah Nobel dalam berbagai bidang, seperti Abdussalam (Pakistan/Fisika ), Naguib Mahfudz ( Mesir / Sastera), Shirin Ebadi (Iran/Perdamaian ), Ahmad Zuwail (Mesir/Laser), Muhammad Yunus (Bangladesh/Perbankan). Beribu-ribu pemuda-pemudi Muslim seka-rang sedang mengikuti program doctor di beberapa negara maju dalam berbagai macam didang studi.

Memang masih banyak kelemahan yang dialami oleh umat Islam di dunia sampai hari-hari sekarang. Diperkirakan 50% dari penduduk negara-negara Islam hidup kurang dari US $ 2 sehari, suatu jumlah yang sangat tidak memadai untuk bertahan hidup secara wajar. Kemiskinan di banyak negara Islam telah menciptakan permasalahan lain, seperti kekurangan gizi, pengangguran, kriminalitas dan lain sebagainya.

Masalah lain yang masih menjadi keperihatinan, adalah perpecahan dan konflik di antara sesama komunitas Islam di mana-mana untuk berebut kekuasaan dan kepentingan kelompk, seperti yang terjadi di Palestina (Hammas >< Fatah), di Irak (Sunni >< Syi’ah), di Sudan, Somalia, dan lain-lain, di tambah lagi perpecahan-perpecahan sectarian barbau politik di kalangan masyarakat Islam, seperti yang terjadi di Indonesia, Malaysia, Pakistan, dan Bangladesh, telah menguras stamina umat, dan mebuyarkan konsentrasi mereka pada masalah-masalah bersama yang lebih strtegis (seperti pencerdasan umat, peningkatan kesehatan, pemberdayaan ekonomi, mengatasi pengangguran, dll.)

Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum (nation) sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” ( Ar-Ra’d: 11).

Ada baiknya kita menyimak orasi Abdullah A. Badawi ( PM. Malaysia dan Ketua OKI ) pada pembukaan Konfrensi ICIS di Jakarta 2006, antara lain mengatakan: "Umat Islam harus tahu, bahwa mereka dapat menjadi modern tanpa harus menjadi orang Barat. Umat Islam harus yakin bahwa mereka dapat memoderenkan diri tanpa harus mem-Baratkan diri mereka. Umat Islam yang benar-benar modern adalah mereka yang dapat menyelaraskan Wahyu Islam dan Sunnah Rasul di satu fihak, dan penalaran manusia serta ilmu pengetahuan di fihak lain."

V. Pendidikan sebagai akar peradaban

Pada awal abad XX M, seorang cendekiawan dan penulis Muslim dari Syria, bernama Amir Syakib Arsalan, menulis sebuah buku "Limaadza Ta’akhkhara al-Muslimun, wa limaadza Taqaddama Ghairuhum" (Mengapa orang-orang Islam terbelakang, dan mengapa orang–orang lain menjadi maju). Dalam bukunya tersebut Amir Syakib Arsalan mengatakan, bahwa yang menjadi sebab-sebab terpenting kemunduran umat Islam antara lain:

1. Karena kebodohan, yang menjadikan mereka tidak mampu membedakan antara tuak dan cuka (tidak mampu membedakan antara yang manfaat dan madlarat) mudah dibohongi dan gampang tertipu.

2. Karena kebobrokan moral, sehingga tidak mampu mengendalikan hawa nafsunya dan tidak sanggup mengontrol sikap dan prilakunya sebagai orang-orang yang seharusnya hidup terhormat dan menjadi teladan. Lebih-lebih lagi apabila kebobrokan moral ini sudah merasuki elite mereka.

3. Karena kehilangan karakter dan jatidirinya, menjadi orang-orang yang tidak memiliki harga diri, tidak mempunyai keberanian, dan kehilangan sifat dan sikap patriotisme, tidak sanggup menyampaikan kebenaran di hadapan para penguasa.

Di akhir bukunya, Arsalan memberi kesimpulan untuk kita renungkan bersama. Ia mengatakan: "Bahwa mereka ( orang-orang Barat atau Jepang) adalah manusia seperti kita, akan tetapi yang kurang pada kita adalah penguasaan ilmu pengetahuan dan kualitas amal perbuatan/kualitas kerja."

Pada pertengahan abad XX M, seorang pemikir survivalis Islam dari Pakistan, Abu al-A’la al-Maududi banyak melontarkan otokritik terhadap kehidupan dan kemunduran peradaban Islam, terutama karena ketertinggalan umat Islam dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan rendahnya kualitas pendidikan mereka. Dalam salah satu tulisannya “Manhaj Jadid lit-Tarbiyah al-Islamiyah “, antara lain ia mengatakan:

“Bahwa tumbuh dan tenggelamnya peradaban manusia serta unggul dan kalahnya, bukan karena sesuatu yang kebetulan semata, tetapi ada sebab-sebab tersembunyi yang berperan di balik fenomena tersebut. Dan apabila kita amati dengan cermat dan jujur, maka akan kita temukan suatu kesimpulan, bahwa kepemimpinan yang sanggup mengendalikan umat manusia itu mempunyai kaitan yang kuat dengan tingkat penguasaannya terhadap ilmu pengetahuan…….Allah memberikan anugerah kepada manusia berupa tiga nikmat potensial kaitan hal ini, yaitu “as-Sam’u” (daya pendengaran), “al-Basharu” (daya pengamatan), dan “al-Fu’ad” (daya hati-nurani), yang tidak diberikan-Nya kepada makhluk-makhluk yang lain.

Sayangnya tidak semua manusia mampu menangkap makna firman Allah tersebut dengan baik (disebut lebih dari 6 x dalam al-Qur’an dalam konteks yang berbedabeda ), yang tersimpan dalam tiga kata tersebut. Kita seharusnya tidak memahami kata-kata tersebut sebatas arti harfiyahnya semata. Kata “as-Sam’u” bukan sekedar mendengar dengan telinga, tetapi menangkap informasi dan melindungi nilai-nilai ilmiah yang sudah dicapai oleh orang-orang lain (atau diwariskan oleh generasi terdahulu ). Kemudian “al-B ashar” tidak hanya sekedar melihat dengan mata, tetapi juga pengamatan, penelitian dan analisa-analisa laboratoris untuk mengembangkan keilmuan yang baru. Dan “al-Fu’ad” bukan sekedar membatin dalam hati, tetapi mengelaborasi dengan membuat evaluasi dan uji kebenaran lebih mendalam terus-menerus, untuk mengetahui mana yang valid dan mana yang tidak.

Maka bangsa dan masyarakat yang manapun yang mampu mengembangkan ketiga nikmat potensial anugerah Tuhan tersebut dengan baik, dialah yang akan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi dan dapat membangun peradaban yang maju. Dan mereka yang tidak mampu melakukan hal tersebut, akan hidup dalam keterbelakangan dan ketidakberdayaan “.

Islam juga banyak menganjurkan umatnya agar menguasai ilmu-ilmu duniyawiyah, (di samping ilmu-ilmu syar’iyah), dengan alasan:

1. Bahwa membangun kualitas kehidupan (kemakmuran) di bumi itu merupakan bagian dari misi hidup manusia ( risalatu al-Insan ), dan dinilai sebagai ibadah, dimana manusia diciptakan untuk maksud tersebut.

2. Allah yang menciptakan manusia, dengan tugas sebagai khalifah-Nya di bumi, tidak untuk hidup menderita dan merana, tetapi manusia diciptakan sebagai makhluk unggulan dan terhormat, yang didukung sumberdaya dan kekayaan alam di daratan maupun di lautan.

3. Tugas berjuang (al-Jihad) yang bebankan terhadap orang-orang yang beri- man untuk melindungi agamanya dan umat itu tidak akan sukses dan sem-purna, apabila tidak memiliki peradaban yang kuat dan maju.

Di tengah-tengah persaingan global sekarang ini, penguasaan sains dan teknologi di samping agama dan moral telah menjadi ikon peradaban Islam, dan umat Islam ti-dak mungkin mencapainya tanpa melalui pendidikan, baik sebagai sistem maupun sebagai institusi. Pendidikan Islam harus dipandang sebagai investasi sumberdaya ma-nusia yang memiliki kemampuan dan kepakaran dalam mengembangkan dan menerapkan sains dan teknologi, sertai nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan dalam proses membangun citra peradaban Islam, untuk kemanfaatan dan kemaslahatan hidup manusia. Pertanyaannya sekarang adalah: Pendidikan Islam yang bagaimana yang kita perlukan untuk membangun cita peradaban Islam? Menujrt Syed M. Naquib Al-Attas, pendidikan harus berfungsi sebagai penyemaian dan penanaman "adab" dalam diri peserta didik, yang mencakup unsur “pengetahuan “ (al-‘ilm), instruksi (at-ta’lim) dan pembinaan karakter (at-tarbiyah).

Berangkat dari perspektif pengembangan kualitas sumberdaya manusia, ada beberapa kecenderungan yang prlu diperhatikan dalam pembaharuan pendidikan kita, di antaranya yang paling pokok:

1. Pendidikan semakin dituntut untuk tampil sebagai kunci dalam pengembangan kualitas sumberdaya manusia ( out put pendidikan), yaitu manusia yang me-miliki wawasan, kemampuan, keterampilan, kepribadian yang sesuai dengan kebutuhan nyata yang dihadapi umat/bangsa. Dengan ciri seperti itu, maka hasil suatu proses pendidikan bukan hanya diukur dari apa yang diketahui (know-what), melainkan apa yang secara nyata dapat ditampilkan oleh lulus-an pendidikan (know–how).

2. Dalam perspektif dunia kerja, orientasi kepada kemampuan nyata (what one can do) yang dapat ditampilkan oleh lulusan pendidikan akan semakin kuat, artinya, dunia kerja akan cenderung lebih realistik dan pragmatik, dimana dunia kerja lebih melihat kompetensi nyata dapat ditampilkan seseorang daripada ijazah semata-mata.

3. Sebagai dampak globalisasi, maka mutu pendidikan suatu komunitas atau kelompok masyarakat, tidak hanya diukur berdasarkan kreteria dalam internal mereka, melainkan dibandingkan dengan pendidikan komunitas lain. Contohnya: kualitas pendidikan Islam tidak hanya diukur dilingkungan komunitas Islam saja, tapi juga dibandingkan dengan kualitas pendidikan Katholik atau Kristen, dan lain-lain, bahkan sekarang pendidikan suatu negara harus mam-pu bersaing dengan pendidikan negara-negara lain. Ini merupakan tantangan kepada kita yang memerlukan jawaban yang tepat.

4. Apresiasi dan harapan masyarakat kepada dunia pendidikan akan semakin me-ningkat, yaitu menginginkan pendidikan yang lebih berkualitas, relevan dan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan (accountable). Hal ini sebagai konsekuensi logis dari semakin meningkatnya kemakmuran, masyarakat selalu ingin mendapatkan sesuatu yang lebih baik.

5. Sebagai komunitas atau masyarakat religius, yang mempunyai keimanan dan sistem nilai, maka pendidikan yang diinginkan adalah pendidikan yang mam-pu menanamkan karakter Islami (kesalehan, kesopanan, kesabaran, keberani-an dan kearifan) disamping memberikan kompetensi-kompetensi yang sifat-nya akademis dan skills.

Pendidikan Islam sebagai kunci jawaban yang dapat membangun citra Peradaban Islam dalam era gflobalisasi yang penuh persaingan sekarang ini, harus mepunyaik karakter sebagai berikut:

1. Dinamik, dalam arti terus bergerak maju dan siap membuat perubahan-perubahan sejalan dengan perkembangan tantangan yang dihadapi, dan tujuan yang ingin dicapai, yang harus kreatif dan visioner.

2. Relevan, semua program-programnya diorientasikan pada kepentingan kemas-lahatan umat, sesuai dengan tingkat kebutuhan masyarakatnya, dan mendu-kung kebutuhan pembangunan nasionalnya.

3. Professional, dalam manangani managemen institusinya, dalam memilih dan mengembangkan SDM-nya, dalam melaksanakan proses belajar-mengajarnya, dalam menggunakan metodologi dan teknologi pendidikannya, dan dalam u-paya meningkatkan mutu out putnya.

4. Kompetitif, siap bersaing dengan lembaga-lembaga pendidikan lain di sekitarnya atau dimana saja, dalam penampilan, dalam pelayanan, dalam kualitas akademik dan dalam menarik dukungan dan partisipasi masyarakat.

Masalah ini memang bukan sesuatu yang mudah, membutuhkan kesadaran dan kesabaran yang tinggi, dan butuh partisipasi yang luas dari masyarakat, serta orien-tasi inovatif dan semangat perjuangan serta pengabdian yang tidak kenal lelah dari para pemikir, ilmuwan, dermawan dan pemimpin umat. Perlu bersama-sama kita merenungkan dan kemudian mengambil langkah strategis, dari pesan Tuhan dalam al-Qur’an:

Allah akan mengangkat beberapa derajat orang-orang yang beriman diantara-mu, dan orang-0rang yang diberi ilmu pengetahuan. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu lakukan.” ( Al-Mujadalah: 11)