Risalah Redaksi

Polemik Program Dai Bersertifikat, Bagaimana Harus Bersikap?

Ahad, 13 September 2020 | 09:00 WIB

Polemik Program Dai Bersertifikat, Bagaimana Harus Bersikap?

Sertifikasi dai tidak sesederhana seperti sertifikasi keahlian dalam profesi tertentu. Ada banyak kemungkinan dampak yang muncul yang mungkin belum terpikirkan saat ini.

Rencana Kementerian Agama untuk menyelenggarakan program dai bersertifikat menuai kontroversi. Sejumlah pihak menilai upaya sertifikasi tersebut penting untuk mengetahui kapasitas dan kelayakan serta komitmen kebangsaan para dai dalam berceramah. Sementara yang menolak berpendapat bahwa program tersebut dicurigai sebagai upaya untuk membungkam para dai yang kritis terhadap pemerintah. 


Usulan sertifikasi dai bukanlah isu baru mengingat beragamnya kapasitas dai yang akhirnya bermasalah di masyarakat. Sebagian salah dalam menafsirkan persoalan agama sehingga diprotes publik, mulai dari dai yang salah menafsirkan sebuah ayat sampai yang mengajak kembali ke sistem khilafah, atau menganggap negeri ini taghut


Sebelumnya, Kementerian Agama sudah menggagas program sertifikasi dai dan telah merilis daftar 200 dai tersertifikasi. Namun muncul kontroversi karena sejumlah dai populer yang yang sering muncul di televisi atau memiliki akun media sosial jutaan tidak masuk dalam daftar tersebut.  Publik mempertanyakan mekanisme sertifikasi tersebut sehingga akhirnya hilang ditelan bumi.


Kemenag sendiri belum menyampaikan secara detail seperti apa program ini akan dijalankan, seperti bagaimana standarisasi seorang dai telah memenuhi kualifikasi; bagaimana program pengawasan yang dilakukan untuk memastikan seorang dai tetap mengikuti standar yang telah ditetapkan atau berbagai aspek teknis lainnya yang ke depan mempengaruhi kredibilitas sertifikasi tersebut. 


Sertifikasi sebagai sebuah standar sudah jamak. Sebagai contoh, di lingkungan media massa, terdapat sertifikasi wartawan yang terdiri dari tiga tingkatan, yaitu golongan muda, madya, dan utama. Masing-masing memiliki kualifikasi tertentu, yang mana semakin tinggi tingkatannya, semakin sulit untuk mencapainya. Mereka yang mencapai tahap utama berarti sudah sangat kompeten. Terdapat kode etik yang harus dipatuhi oleh mereka yang telah memiliki sertifikat. Pelanggaran atas ketentuan dapat berakibat dicabutnya sertifikat tersebut.


Berbagai bidang lain pun memiliki standarisasi kualifikasi bahwa seseorang telah memenuhi syarat minimal keahlian tertentu seperti bidang akuntansi dan keuangan, kesehatan, konstruksi, hukum, pendidikan, dan lainnya. Dengan demikian, pengguna jasa dapat memastikan orang tersebut kompeten.


Sertifikasi dai tidak sesederhana seperti sertifikasi keahlian dalam profesi tertentu. Seseorang menjadi dai umumnya berawal dari panggilan hati untuk berdakwah di masyarakat. Motif utamanya adalah untuk mengubah masyarakat supaya menjadi lebih baik. Sekalipun demikian, masyarakat menghormati kerja-kerja dakwah mereka dengan memberikan honor yang jumlahnya sesuai dengan keikhlasan pengundang.  


Ada banyak kemungkinan dampak yang muncul yang mungkin belum terpikirkan saat ini. Misalnya, konsep sertifikasi yang tidak matang akan membuat aktivitas dakwah lebih dekat sebagai profesi yang nantinya akan berorientasi uang dibandingkan dengan sebuah kegiatan dakwah untuk mengubah masyarakat menjadi lebih baik. Bisa saja nanti akan terdapat berbagai kualifikasi dai dari yang tidak tersertifikasi, tersertifikasi rendah, sampai dengan yang tertinggi. Publik akan menilai kapasitas seorang dai dari tingkatan yang dimiliki. Kualifikasi akan menentukan tarif dari masing-masing dai.  


Sertifikasi juga berpotensi dimanipulasi dan digunakan kedok untuk menyebarkan paham yang tidak sesuai dengan nilai kebangsaan. Bisa saja seorang dai yang memiliki paham radikal dan intoleran mengikuti proses sertifikasi. Dalam proses ujian, mereka menjawab pertanyaan yang sesuai dengan keinginan penyelenggara agar lolos, sekalipun tidak sesuai dengan ideologi yang dimilikinya.  Dalam ceramah-ceramahnya setelah lolos sertifikasi, mereka kemudian menunjukkan pandangan ideologinya yang intoleran. Mereka menggunakan dalih sebagai dai yang telah tersertifikasi.


Kekhawatiran bahwa sertifikasi dai ini menjadi alat bagi penguasa untuk mengontrol suara masyarakat sebagaimana disuarakan sejumlah orang juga patut dipertimbangkan. Sertifikasi dapat digunakan untuk membungkam pendapat kritis dari masyarakat yang disuarakan oleh para dai. Siapa saja penguasanya akan menggunakan instrumen ini. Bisa saja saat ini kelompok tertentu berkuasa dan menggunakan instrumen sertifikasi dai untuk mengontrol suara publik. Namun bisa saja di masa depan, kelompok oposisi saat ini kemudian berkuasa dan kemudian mereka menggunakan instrumen yang sama untuk suara mengontrol masyarakat. 


Di sini penting untuk memastikan keseimbangan antara kebebasan menyampaikan pendapat, termasuk yang dilakukan oleh para dai dan pentingnya menjaga kesatuan bangsa. Suara dai yang mengkritik ketidakadilan penguasa harus dibedakan dengan mereka yang ingin mengobrak-abrik negara kesatuan yang telah sejak lama diperjuangkan oleh umat Islam Indonesia. 

 
Konsep yang kurang matang disertai kemungkinan persoalan yang akan muncul ini menjadi penyebab masyarakat tidak dapat menilai dengan jernih seberapa layak usulan sertifikasi ini. Yang muncul adalah polarisasi antara kelompok yang setuju dan tidak setuju.  Untuk itu, Kementerian Agama dapat mengundang ormas-ormas Islam untuk membahas persoalan tersebut. Mereka yang selama ini telah membina masyarakat dapat memberikan masukan-masukan dari berbagai situasi dan kondisi di lapangan.  


Kemenag juga tidak perlu takut lalu menghentikan program ini karena tekanan dari kelompok-kelompok yang tidak setuju. Jika sertifikasi dinilai penting, yang perlu dilakukan adalah mematangkan konsep yang ada sehingga masyarakat dapat menilai dan memberi masukan mana yang sudah baik, mana yang perlu disempurnakan, atau mana yang perlu dihilangkan. Jika ini berhasil, maka konsep ini akan menjadi standarisasi dai yang diakui semua orang dan berlaku dalam jangka panjang atau disempurnakan terus-menerus. Tidak lagi ganti menteri lalu ganti konsep lagi, yang akhirnya sama sekali tidak menghasilkan perbaikan.  Sementara itu, jika evaluasi menunjukkan memang tidak perlu ada sertifikasi bagi para dai, ya tidak perlu dipaksakan. (Achmad Mukafi Niam)