Risalah Redaksi

Mencegah Perkembangan Islamophobia dan Xenophobia

Ahad, 17 Maret 2019 | 14:00 WIB

Penyerangan terhadap Muslim di Selandia Baru, salah satu negara yang selama ini dikategorikan sebagai yang paling aman di dunia mengejutkan publik. Umat Islam menyatakan kedukaannya terhadap peristiwa tersebut. Simpati juga datang dari umat lain dari berbagai penjuru dunia atas kejadian yang menyebabkan puluhan korban jiwa tersebut.

Kejadian ini merupakan ekspresi dari islamophobia yang belakangan ini terus berkembang di sejumlah wilayah di dunia, terutama di Barat di mana Muslim menjadi minoritas. Islamophobia merupakan perasaan takut atau benci kepada Islam. Dan oleh karena itu, semua Muslim menjadi sasaran. Karena itu, Muslim kemudian didiskriminasi dalam kehidupan ekonomi, sosial, dan kemasyarakatan sebuah bangsa. 

Ada anggapan terutama di sebagian masyarakat Barat yang mengalami islamophobia bahwa budaya Islam lebih rendah dibandingkan dengan budaya Barat atau Islam tidak sesuai dengan norma-norma budaya Barat yang berakar dari tradisi Kristiani. Dan Islam lebih dilihat sebagai sebuah ideologi politik yang mengajarkan kekerasan dibandingkan dengan sebuah agama yang mengajarkan perdamaian. Bukan hanya Islam, umat Yahudi juga pernah mengalami anti-Semitisme, yaitu permusuhan atau prasangka terhadap orang Yahudi yang oleh Hitler kemudian diwujudkan dengan pembersihan etnis Yahudi. 

Ketidaksukaan terhadap segala sesuatu yang asing bukanlah hal yang baru. Xenofobia merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan ketidaksukaan atau ketakutan terhadap orang-orang dari negara asing. Perasaan terancam oleh keberadaan orang asing kini muncul ketika para imigran masuk ke negara-negara Eropa dan kemudian merebut pekerjaan orang lokal. Para politisi sayap kanan selanjutnya mengeksploitasi suara-suara kelompok yang gelisah tersebut.
 
Semestinya dengan perkembangan internet dan alat komunikasi yang semakin memudahkan warga dunia berinteraksi dan memahami satu sama lain, nyatanya hal tersebut tidak sebagaimana dibayangkan. Dunia belum bisa menjadi sebuah desa global di mana para penduduknya saling mengenal dan memahami, lalu kemudian hidup dalam sebuah harmoni. Itulah gambaran sebuah desa yang ada dalam benak kita. Komunitas masyarakat yang tenang dan damai. 

Globalisasi memungkinkan pertukaran sumber daya dari satu tempat ke tempat lainnya dengan mudah. Sebagai akibatnya, hal ini memunculkan persaingan yang keras untuk memperoleh pekerjaan. Para imigran yang berasal dari negara berkembang bersedia bekerja lebih keras dan lebih lama, serta rela mendapatkan upah yang lebih rendah. Akhirnya, kenyamanan yang dulu didapat penduduk lokal menjadi hilang. Industri yang padat tenaga kerja kemudian juga berpindah ke negara-negara lain dengan upah lebih rendah. Akibatnya, ada persoalan serapan tenaga kerja yang muncul dan menjadi gejolak sosial. Bagi dunia usaha yang berpikir dengan pendekatan rasionalitas ekonomi, maka mereka berusaha memaksimalkan sumber daya yang mereka miliki dengan bertindak secara efektif dan efisien. 

Faktor budaya juga menjadi penyebab islamophobia atau xenophobia. Kehadiran orang asing dengan perbedaan agama, etnik atau ras yang bertambah dari waktu ke waktu, yang mana mereka hanya bergaul dengan kolompoknya sendiri menyebabkan kurangnya muncul sikap tenggang rasa atau saling memahami satu sama lain. 

Berbagai faktor dasar yang kemudian dieksploitasi oleh para politisi ini kemudian mengeras dan menimbulkan kebencian. Beberapa ekstremis akhirnya melakukan tindakan nyata dengan melakukan pembunuhan sebagaimana terjadi di Selandia Baru. Dalam Pilpres 2019 ini, kita juga mengalami sendiri ketika hoaks yang secara massif disebarkan di media sosial tentang jutaan tenaga kerja dari Tiongkok yang merebut lapangan kerja di sini sementara jutaan orang masih menganggur. Ini merupakan bagian dari kampanye hitam terkait dengan perebutan lapangan kerja oleh orang asing.

Kita tentu harus belajar dari kejadian masa lalu seperti anti-Semitisme yang telah menimbulkan korban nyawa dengan jumlah yang sangat besar di kamp konsentrasi dan kamar-kamar gas. Hitler telah berhasil menggunakan isu-isu nasionalisme sempit untuk menggerakkan dan akhirnya membunuh jutaan orang tidak berdosa. Sejarah gelap tersebut masih belum terhapus dari sekarang. 

Upaya mencegah timbulnya islamophobia dapat dilakukan dengan menindak tegas para pelaku kekerasan dan penebar kebencian atas Islam atau imigran yang umumnya merupakan kelompok minoritas di sebuah negara. Dengan demikian, mata rantai kemungkinan keberlanjutan kekerasan atau penindasan terhadap kelompok minoritas dapat dicegah.

Dialog budaya dan peradaban antara berbagai kelompok yang hidup di satu negara akan memunculkan kesalingpahaman antara kelompok-kelompok yang berbeda. Prasangka-prasangka yang selama ini tumbuh karena ketidakmengertian atau sengaja disebarkan oleh kelompok tertentu bisa sirna dengan sendirinya. Apa yang dianggap baik oleh satu kelompok bisa saja dianggap kurang pas dari sudut pandang kelompok budaya lain, tetapi ketika memahami mengapa satu budaya muncul, maka minimal dapat dipahami mengapa kelompok lain melakukan hal tersebut. Misalnya, bagi budaya Barat, perempuan yang mengenakan jilbab dianggap sebagai penindasan oleh laki-laki. Tetapi jika dilihat dari budaya Islam, maka perempuan menjaga diri dan kehormatannya berdasarkan prinsip-prinsip Islam yang diyakininya dengan menggunakan jilbab.

Jika proses saling memahami sudah muncul, maka persoalan kompetisi dalam bidang ekonomi akan lebih mudah diselesaikan. Bukan hanya bersaing untuk saling memperebutkan pekerjaan atau kue ekonomi, tetapi kesalingpahaman akan memunculkan kerjasama dan sinergi yang membawa manfaat bagi semua pihak yang terlibat. (Achmad Mukafi Niam)