Nasional

Suluk Maleman: Dialog dengan Diri Sendiri Mampu Temukan Kesejatian

Sen, 27 Februari 2023 | 16:30 WIB

Suluk Maleman: Dialog dengan Diri Sendiri Mampu Temukan Kesejatian

Suasana Ngaji NgAllah Suluk Maleman ‘Tawashshulan’ yang digelar Ahad (26/2/2023) kemarin. (Foto: Ngaji Suluk Maleman)

Jakarta, NU Online
Penggagas Suluk Maleman Anis Sholeh Ba’asyin, menyebut pentingnya terus berdialog dengan diri sendiri sehingga bisa menemukan kesejatian. Menurutnya, dengan terbiasa mengarahkan diri menjauhi keburukan, maka nantinya secara otomatis akan selalu diarahkan untuk menjauh dari suatu keburukan.


“Pribadi dihasilkan dari dialektika ruh, akal, nafs dan qalb. Perlu dibentuk dari pelatihan sejak kecil dan terus menerus,” jelasnya pada Ngaji Suluk Maleman, Ahad (26/2/2023)


Imam Ghazali menurutnya, menyebut bahwa antara nafsu, akal, ruh dan qalb berada pada satu kesatuan lingkaran. Sehingga apapun yang menang itulah yang akan memimpin.


“Jadi kalau nafsu yang menang maka yang memimpin adalah nafsunya. Tapi jika yang menang adalah ruhnya maka yang memimpin adalah ruhnya,” jelasnya.


Dalam penjelasan Al Qur’an, sebutnya, orang kafir digambarkan seperti orang yang berjalan di tengah laut gelap. Sementara di atasnya ada awan berlapis-lapis sehingga memunculkan kegelapan yang hampir mutlak. Sementara orang munafik digambarkan seperti orang yang berada di gelap malam, yang hanya berjalan saat ada cahaya petir menunjukkan jalan.


“Dengan bertawashul atau mendekatkan diri pada Allah diharapkan memunculkan cahaya untuk menerangi dalam laku manusia,” ujarnya


Sementara pembicara lain Muhammad Ainun Nadjib mengajak semuanya untuk bertawashul atau mendekatkan diri kepada Allah dan menumbuhkan kesadaran ruhiyah. Salah satunya dengan mencoba memahami diri. Karena dengan mengenal dirinya maka juga mengenal Tuhannya.


“Mari bertawashul serajin-rajinnya. Karena ada yang tak bisa dibangun dengan akal,” ungkapnya.


Menurutnya, seringkali akal sulit dalam memahami kebenaran sejati. Maka diapun mengajak untuk terus beribadah dengan kecintaan dan keikhlasan.


Dijelaskannya, ada tingkatan dalam pemahaman manusia. Mulai dari taklim atau dari tidak tahu menjadi tahu. Bertingkat dari sekedar tahu menjadi familiar, kemudian naik memahami sesuatu secara lebih luas, memahami lebih mendalam hingga munculnya kecocokan maupun ketidak-cocokan untuk digunakan. Sementara yang terakhir adalah ikhlas atau tidaknya dalam menerima sesuatu.


“Seringkali akal tidak mampu menangkap arti dari ibadah. Tapi tetap saja lakukan dengan cinta dan ikhlas. Temukan sesuatu yang baik di hidupmu dan lakukan,” tambahnya.


Editor: Muhammad Faizin