Nasional

JPPI Sesalkan Pembatalan Kenaikan UKT Tak Dibarengi Pengembalian Status PTNBH ke PTN

Sel, 28 Mei 2024 | 12:00 WIB

JPPI Sesalkan Pembatalan Kenaikan UKT Tak Dibarengi Pengembalian Status PTNBH ke PTN

Koordinator JPPI Ubaid Matraji. (Foto: dok. JPPI)

Jakarta, NU Online

Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menyayangkan kebijakan Mendikbudristekdikti ihwal pembatalan kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) tahun ini tanpa dibarengi dengan pencabutan Permendikbudristek Nomor 2 tahun 2024 dan komitmen untuk mengembalikan status PTNBH menjadi PTN.


“Salah satu usaha paling menguntungkan dan tidak mungkin merugikan kampus yakni berbisnis dengan mahasiswa melalui skema UKT ini. Karena itu, selama status PTNBH ini tidak dibubarkan, kampus tidak dikembalikan menjadi PTN, maka biaya UKT akan selalu membumbung tinggi,” ujar Koordinator JPPI Ubaid Matraji, Selasa (28/5/2024).


Ubaid menyoroti bantuan untuk mahasiswa dari keluarga miskin yang anggarannya mencapai 20 persen di PTN BH. Faktanya, KIP Kuliah banyak salah sasaran bahkan kampus tidak memenuhi jumlah minimum 20 persen itu untuk mahasiswa dengan skema UKT kelompok 1 dan kelompok 2.


"Belum lagi masalah soal mahasiswa dengan kemampuan ekonomi menengah. Mereka merasa sangat terbebani dan tidak mampu bayar UKT, karena itu banyak di antara mereka yang putus kuliah di tengah jalan," beber Ubaid.


Menurut Ubaid, jika Perguruan Tinggi tetap berstatus PTN BH dan tidak ada revisi Undang-Undang Dikti Nomor 12 tahun 2012 maka menjadikan kampus lahan bisnis. Hal ini jelas bertentangan dengan amanah UUD 45 terutama pasal 31 bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.


"Kita harus mengembalikan pendidikan sebagai hak dasar seluruh warga negara Indonesia. Pendidikan harus diletakkan sebagai public goods (barang publik), sebab menyangkut hajat hidup dan kebutuhan seluruh masyarakat," jelasnya.


JPPI menyerukan dan memberikan rekomendasi kepada Mendikbudristek agar mengembalikan PTN BH menjadi PTN. UU Pendidikan Tinggi No.12 tahun 2012 harus direvisi karena banyak pasal-pasal yang inkonstitusional, khususnya yang menyangkut status PTN menjadi PTN-BH.


"Jelas inkonstitusional karena pembiayaan pendidikan yang mestinya menjadi tanggung jawab pemerintah malah dialihkan ke masyarakat melalui badan hukum dan skema UKT," terangnya.


Ubaid berharap Kampus tak hanya beri karpet merah untuk golongan tertentu karena semua punya hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan tinggi berkualitas dan berkeadilan.


"Warga negara harus mendapat kesempatan sama (non-excludability) untuk bisa akses pendidikan tinggi," jelasnya.


Ia mendesak pemerintah dan DPR menghapus  mekanisme kompetisi dan saling mengalahkan (non-rivalry) dalam mengakses pendidikan tinggi. Semua warga negara dengan skill yang berbeda-beda harus dapat ditampung di pendidikan tinggi sesuai dengan minat dan bakatnya masing-masing.


"Hentikan sistem kompetisi dan juga jalur mandiri yang hanya mempertimbangkan tebal-tipis dompet, tanpa mempertimbangkan skill," ujar Ubaid.


JPPI menyerukan penghentian segala bentuk komersialisasi dan bisnis di pendidikan tinggi. Karena ini akan berdampak buruk bagi jaminan hak warna negara untuk bisa mendapatkan pendidikan di pendidikan tinggi.


Jika lembaga pendidikan tinggi diharuskan berbisnis, lalu mengalami kerugian dan dinyatakan pailit, maka asetnya bisa disita oleh pihak terkait sementara nasib mahasiswa akan terlunta-lunta.


“Karena itu kembalikan status PTNBH menjadi PTN dan kembalikan posisi pendidikan tinggi sebagai public goods yang harus bisa diakses oleh semua lapisan masyarakat, tanpa ada diskriminasi,” pungkas Ubaid.