Nasional

JPPI Minta Pemerintah Cabut PPDB yang Tak Berkeadilan

Kam, 6 Juni 2024 | 18:30 WIB

JPPI Minta Pemerintah Cabut PPDB yang Tak Berkeadilan

Koordinator Nasional JPPI Abdullah Ubaid Matraji (Foto: Dok. JPPI)

Jakarta, NU Online
Persoalan zonasi dalam pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) masih menuai polemik di dunia pendidikan. Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia mendesak Presiden Joko Widodo dan DPR RI komisi X untuk menyudahi kebijakan tersebut.


Koordinator Nasional JPPI Abdullah Ubaid Matraji menilai sistem pendidikan harus tegak lurus sesuai UUD 1945 dan UU Sisdiknas bahwa pendidikan adalah hak semua warga negara. Tidak boleh ada sistem kompetisi dan pemerintah wajib menanggung pembiayaan.


“Sudah bertahun-tahun kita suarakan ke Kemendikbudristek, tetapi tak bergeming. Presiden dan juga DPR RI harus menghentikan sistem rebutan kursi ini. Sistem pendidikan kita  harus tegak lurus mengikuti UUD 45 (pasal 31) dan juga UU Sisdiknas (pasal 34),” ujar Ubaid dalam keterangan tertulis diterima NU Online, Kamis (6/6/2024).


Ubaid mengungkapkan bahwa PPDB 2024 yang baru saja dimulai memunculkan masalah lama yakni sistem rebutan kursi. Jika sistem rebutan ini tidak diperbaiki, maka selain masalah lama masih terjadi, masalah baru pun akan menambah daftar keruwetan saat musim PPDB tiba.


“Sudah tahu bangku yang disediakan memang kurang, tapi orang tua diminta untuk rebutan. Maka terjadilah transaksi yang bernama jual beli kursi, obral sertifikat prestasi, manipulasi KK, dan juga surat keterangan tidak mampu abal-abal,” papar Ubaid.


Laporan masyarakat yang diterima JPPI, kejanggalan baru mulai banyak terjadi dalam sistem PPDB 2024 di antaranya  panitia PPDB mengundurkan diri, pengumuman kelulusan yang diundur, sistem eror berhari-hari dan lain-lain. Bahkan di Jakarta, Ketua Komisi E DPRD DKI Jakarta Iman Satria meminta penambahan kuota afirmasi sebanyak 50 persen.


“Apakah ini menyelesaikan masalah? Tentu saja tidak. Soal penambahan kuota afirmasi ini permintaan yang sangat aneh. Kebijakan ini tidak manusiawi. Anak-anak dari keluarga tidak mampu, apalagi yang disabilitas, mereka dipaksa harus tetap ikut rebutan kursi di sekolah negeri? Memahami juknis PPDB saja mereka masih kebingungan, apalagi disuruh isi aplikasi online yang servernya sering eror. Pasti akan menambah keruwetan baru,” kata Ubaid.


Ubaid menyebut kasus di Jakarta, pemerintah Daerah Khusus Jakarta bersama DPRD perlu memikirkan, memastikan, dan membuat sistem yang mampu menjamin semua anak di Jakarta kebagian kursi, jangan malah menyuruh rebutan kursi.


Berdasarkan data Dinas Pendidikan Jakarta 2024, daya tampung SMP Negeri sebesar 47%, sementara SMA/SMK Negeri hanya 35%. Berarti, anak Jakarta yang dipastikan tidak lulus PPDB di Jakarta tahun ini sebanyak 80.071 anak di jenjang SMP dan 90.152 anak di SMA/SMK.


Sementara PPDB bersama di Jakarta yang melibatkan swasta hanya menyediakan kursi yang sebanyak 8.426 kursi dari total kursi yang dibutuhkan sebanyak 170.223 kursi.


“Artinya, sistem PPDB bersama di Pemprov Jakarta ini hanya mampu menampung sekitar 4 persen dari total kebutuhan. Sistem ini gagal menciptakan keadilan sebab berpotensi akan menelantarkan sejumlah 161.797 anak Jakarta karena dia terlempar dari sistem rebutan kursi,” tandas Ubaid.