Nasional

Dosen Fisipol UGM Jelaskan Dampak Buruk Politik Uang dan Birokrasi yang Tidak Netral

Sel, 23 Januari 2024 | 13:00 WIB

Dosen Fisipol UGM Jelaskan Dampak Buruk Politik Uang dan Birokrasi yang Tidak Netral

Dosen Fisipol UGM, Abdul Ghaffar Karim. (Foto: dpp.fisipol.ugm.ac.id)

Jakarta, NU Online

Dosen Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM), Abdul Gaffar Karim menyoroti dampak serius dari problematika netralitas dan politik uang terhadap demokrasi. Menurutnya, keduanya merugikan demokrasi karena menghilangkan esensi penting pengawasan oleh publik.


"Tidak netralnya birokrasi dan para aparat negara serta politik uang itu efeknya luar biasa. Gara-gara politik uang, kita tidak merasa perlu menguasai siapa pun yang terpilih," kata Gaffar dalam diskusi forum demokrasi yang digelar Jaringan Gusdurian secara daring bertajuk Demokrasi Diujung Tanduk: Netralitas Aparat Negara dan Politik Uang, Senin (22/1/2024).


Proses idealisasi tidak akan berjalan ketika suara diselesaikan dengan uang. Itulah alasan politik uang tidak bisa dianggap enteng. "Itu sangat sangat serius, harus kita anggap dosa besar yang harus dihapus," tegasnya.


Ghaffar menyampaikan bahwa demokrasi kehilangan pengawasan oleh rakyat karena politisi dan rakyat merasa sudah dibeli.

 

Suara yang sudah dibeli menghilangkan tanggung jawab terhadap rakyat, fokusnya hanya pada partai, ketua umum, dan pemerintah daerah. Padahal, pemimpin dipilih oleh rakyat untuk mengemban amanat pemerintahan, menyejahterakan masyarakat, dan diawasi oleh publik.


"Tugas mereka adalah menyejahterakan masyarakat, dan kewajiban kita adalah mengawasi kekuasaan yang diamanatkan kepada mereka. Mereka harus mencari solusi atas persoalan yang dihadapi masyarakat," kata Gaffar.


Namun, pemimpin saat ini enggan dikritik oleh rakyat karena sudah mendapatkan bayaran di depan. Bahkan, seringkali terdengar tokoh politik mengatakan kalau mau kritik, sertakan solusi.


"Dan kita percaya pada omong kosong itu. Itu manipulatif, tidak benar. Pemerintah adalah orang-orang yang kita pilih dan beri mandat untuk mencari solusi. Jadi kalau kita mau kritik pemerintah, kritik saja, enggak usah cari solusi," tuturnya.


Faktor maraknya politik uang

Gaffar menyebut ada dua faktor pendorong (pull factors) dan penarik (push factors) mengapa politik uang terjadi di Indonesia. Faktor ketimpangan sosial menjadi pendorong kuat, di mana tawaran uang dianggap sebagai solusi akses keuangan.


"Bagi orang yang membutuhkan, tawaran uang adalah bagian dari solusi akses keuangan. Jadi, ketika ada ketimpangan, pull factor-nya menjadi kuat," ujarnya.


Ketidakmampuan partai politik untuk menetapkan ideologi yang jelas juga menciptakan celah bagi praktik politik uang ini yang disebut push factor.

 

"Programnya tidak clear maka cara terbaik adalah membeli suara dari masyarakat," kata Dewan Pengarah Gardu Pemilu itu.


Hal ini ditambah dengan fakta bahwa di Indonesia, tidak ada hambatan personal dan standar etika nasional yang melarang politik uang.


"Politik uang terjadi karena masyarakat tidak merasa terganggu dengan praktik tersebut. Sikap permisif yang tinggi masih terus ada," sebutnya.


Tolak politik uang

Ghaffar menegaskan, satu-satunya cara untuk menghilangkan praktik politik uang dimulai dari individu yang menolak politik uang.


"Saya kira etos itu yang harus ditumbuhkan, ingatkan pada masyarakat bahwa karena politik uang, demokrasi kita menjadi tidak sehat," ajaknya.


Problem politik uang muncul bukan hanya karena politisi tetapi juga karena masyarakat pemilih. Itulah yang harus dihentikan. Semboyan yang menerima uang, jangan pilih orangnya, kita tolak. 


"Kita harus menolak uangnya agar kita memiliki kontribusi personal, individual untuk demokrasi Indonesia yang lebih baik," tandas dia.