Nasional

Bicara Politik dengan Sastrawan Ahmad Tohari

Sab, 30 Juni 2018 | 10:17 WIB

Bicara Politik dengan Sastrawan Ahmad Tohari

Ahmad Tohari (tengahI

Jakarta, NU Online
Dunia politik selalu menarik diperbincangkan. Terlebih saat ini tengah musim Pilkada serentak. Meskipun gelarannya sudah usai, tapi suasananya masih terasa. Tak terkecuali oleh Ahmad Tohari, seorang sastrawan yang pernah mendapatkan penghargaan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan atas novel pertamanya yang berjudul Kubah.

Malam itu, Jumat (29/6), ia tengah menanti keberangkatan kereta dari Stasiun Gambir menuju Purwokerto guna mengantarkannya kembali ke kediamannya di sana. Di situlah saya menemuinya bersama rekan saya Muhammad Ammar, Ketua Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) cabang Jakarta Pusat.

“Ini pakai peci ini pasti anak IPNU,” begitu langsung ia menebak saya yang kebetulan mengenakan peci.

Kader NU, katanya, jangan semuanya berpolitik. Ada yang mesti mengambil peran intelektualnya. Ia pun mengambil contoh KH Masdar Farid Masudi, Ahmad Baso, dan Imam Aziz. Ketiganya mengambil sisi tersebut, tidak turut berpolitik.

Meskipun demikian, ia tentu tidak mutlak melarang kami dan kader NU lainnya untuk berpolitik. Pria yang sempat berkuliah pada jurusan kedokteran itu pun memberi syarat yang cukup berat, yakni harus menjadi sosok mandiri. Artinya, jika dilepas semua identitasnya, orang-orang tetap meliriknya.

“Jangan berlindung di jaket NU!” tegasnya.

Pak Tohari memberi contoh dua sosok politisi yang demikian, yakni KH Abdurrahman Wahid dan Joko Widodo. Jika pun baju partai keduanya dilepas, mereka akan tetap menjadi tokoh.

“Jadilah politisi yang negarawan. Jangan jadi politisi partai!” tegasnya.

Ia terlihat geram sekali dengan mereka yang terjun di dunia politik, tetapi dengan membawa rasa hausnya akan kekuasaan. Hal ini pula yang ia tuangkan dalam cerpennya yang berjudul Paman Klungsu dan Kuasa Peluitnya. Cerpen yang terbit pada 5 Februari 2017 itu menjadi salah satu cerpen terbaik Kompas 2017 dari 21 cerpen.

“Seperti peluit sebagai simbol kekuasan itu berbau busuk karena tidak pernah dicuci. Kalau kekuasaan menuruti tabiatnya yaitu semakin berkuasa semakin korup, ibarat peluit yang tidak pernah dicuci,” kata Pak Tohari sebagaimana dilansir NU Online pada Kamis (28/6) malam di Jakarta. (Syakir NF/Abdullah Alawi)