Nasional

Abdullah Wong, Si Pembaca Pengemis dan Shalawat Badar

Ahad, 30 Maret 2014 | 22:00 WIB

Jakarta, NU Online
“Pidato saya yang paling orisinil adalah pembacaan cerpen nanti. Itu yang sangat orisinil,” kata Ahmad Tohari. Ia mengatakan itu sebelum menyampaikan Pidato Kebudayaannya berjudul Membela dengan Sastra di gedung PBNU, Jakarta, Jumat malam (28/3).
<>
Hadirin mungkin bertanya-tanya, apa maksud penulis Ronggeng Dukuh Paruk yang diterjemahkan ke dalam belasan bahasa asing tersebut. Pembacaan cerpen tidak tercantum di spanduk dan buku Pidato Kebudayaan. Tetapi mereka tak sempat bertanya kepada panitia atau langsung ke Ahmad Tohari.

Suasana pada waktu itu sudah tidak lagi kondusif sebab hadirin menganggap acara usai. Sebagian mereka hendak meninggalkan ruangan lantai delapan di gedung yang dibangun KH Abdurrahman Wahid itu.

Setelah Ahmad Tohari bicara seperti itu, justru semangat salah seorang penghuni ruangan menggelegak seolah dipompa dan terpacu: semangat Abdullah Wong. ”Bayangkan, suasana sudah chaos. Hadirin bisa diam saja itu sudah untung. Hadirin diam saja sudah berhasil,” katanya selepas acara sambil ngopi di depan gedung PBNU.

Abdullah Wong, si penulis novel Mada, mengaku berat untuk membacakan cerpen itu. Tetapi kepercayaan luar biasa dari novelis luar biasa tak ingin disia-disiakannya.

Tak lama kemudian, pembawa acara, Hamzah Sahal, mengumumkan ada pembacaan cerpen yang disebutkan Ahmad Tohari tadi.

Kemudian pria berambut gondrong sebahu maju ke hadapan hadirin dari sebelah kanan ruangan. Ia berpakaian serba hitam longgar. Sementara kopiahnya sudah kemerahan lepek dan terkesan dipaksakan dengan ukuran kepalanya. Dia tak sendirian, diiringi dua anak muda peniup seruling, Asep Ashly, dan pemetika gitar, Eko Yudhi. Keduanya duduk di sebalah kiri Abdullah Wong.

Abdullah Wong beridiri di hadapan hadirin. Sebentar matanya menyapa seisi ruangan. Tatapannya seolah mengatakan, “Wahai, kalian dengarkan pidato Ahmad Tohari yang aku bacakan ini. Maka diamlah!”

Setelah uluk salam, Abdullah Wong mulai bersuara mengucapkan judul cerpen itu, Pengemis dan Shalawat Badar.

Selang beberapa detik, ia menghela napas. Diamnya ternyata mempersilakan seruling melengking. Seruling itu seperti menyeret hadirin pada keterpencilan. Meliuk-liuk membetot untuk terpaku pada tiga sosok di depan mereka. Kemudian gitar menyahut, menimpali. Suara keduanya saling bertindihan, nyaris kacapi suling Sunda yang mengabarkan jalan setapak, tepi jurang atau lamping gunung, sungai tenang menjelang muara, pada suasana sore menghadap maghrib.

Hadirin makin diam. Hanya sesekali bersuara karena tak kuasa menahan batuk atau mendehem. Selebihnya terdengar nafasnya sendiri. Tatapan mereka ke tiga sosok di hadapan. Abdullah Wong mulai membacakan paragraf pertama.

Bus yang aku tumpangi masuk terminal Cirebon ketika matahari hampir mencapai pucuk langit. Terik matahari ditambah dengan panasnya mesin disel tua memanggang bus itu bersama isinya.

Kini hadirin benar-benar diam. Mereka yang duduk di kursi tak menggeser pantatnya, yang duduk di lantai tak beringsut, yang berdiri tak memindahkan kakinya. Mereka diseret ke dalam cerpen itu. 

Sesekali mereka tergelak karena cerpen itu mengundang ketawa di bagian tertentu. Abdullah Wong yang lahir di Brebes begitu menghayati dialek Cirebonan yang ditulis orang Banyumas. Pada bagian tertentu, ia berhasil mendendangkan shalawat dengan jiwa seorang pengemis berlanggam tak umum, langgam yang bersumber dari kepasrahan tingkat tinggi.

Seruling yang ditiup Asep kadang menyentak hadirin, menjerit agak keras. Disusul petikan gitar  memekik. Pada saat itu pula suara Abdullah Wong meninggi.

Hingga cerpen itu habis, Rais Syuriyah PBNU KH Masdar F Mas’udi tetap di tempat. Wakil Ketua Umum PBNU H As’ad Said Ali dan pengurus PBNU yang lain tak kemana-mana. Begitu pula D Zawawi Imron, penyair celurit emas; para penerima anugerah Hadiah Asrul Sani 2014, serta segenap hadirin. Mereka seolah tak rela pertunjukkan harus usai. Seolah bocah yang tak rela dirampas mainannya.

Ahmad Tohari, yang sebelum menyampaikan Pidato Kebudayaan dikalungi sorban hitam oleh Kiai Masdar, segera memeluk Abdullah Wong ketika hendak meninggalkan pentas.

Bukan kali ini saja Abdullah Wong menghipnotis hadirin. Tanggal 22 Maret lalu, putri almarhum H. Mahbub Djunaidi terdiam bertopang dagu, menyimak tiap kata dari fragmen novel karya ayahandanya (Dari Hari ke Hari) yang dibacakan Abdullah Wong. (Abdullah Alawi)