Daerah HARI SANTRI 2023

Pesantren Daarul Jalal Tebo, Lestarikan Aksara Arab Melayu dalam Belajar Kitab Kuning

Jum, 6 Oktober 2023 | 14:00 WIB

Pesantren Daarul Jalal Tebo, Lestarikan Aksara Arab Melayu dalam Belajar Kitab Kuning

Kitab Hikam Melayu dan Tajul Muluk, dua di antara kitab kuning berbahasa Melayu. (Foto: NU Online/Syarif)

Tebo, NU Online

Aksara Arab Melayu adalah modifikasi dari aksara Arab yang disesuaikan dengan bahasa Melayu. Munculnya aksara ini akibat pengaruh budaya Islam yang lebih dulu masuk dibandingkan dengan pengaruh budaya Eropa di era kolonialisme.


Aksara Arab Melayu dikenal luas sejak zaman Kerajaan Samudera Pasai dan Kerajaan Malaka. Kerajaan Samudera Pasai merupakan salah satu kerajaan Islam tertua di Indonesia, diperkirakan berdiri pada 1267 M di Aceh.


Saat ini, aksara Arab Melayu sebagai acara ciri dari budaya Melayu, khususnya di wilayah Riau, Aceh, Jambi sudah mulai terlupakan. Dikarenakan kurangnya guru atau tenaga pengajar yang menguasai aksara ini sampai tingkat kesulitan dari aksara ini sendiri.


Salah satu lembaga pendidikan yang masih mengajar ciri khas Suku Melayu ini yaitu Pondok Pesantren Daarul Jalal Desa Tabun, Kecamatan VII Koto, Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi.


"Dalam proses belajar mengajar, bahasa pengantarnya bahasa Melayu, santri memberikan makna kitab dengan Arab Melayu. Ini berbeda dengan tulisan Pegon di pesantren-pesantren di Pulau Jawa," jelas Ustadz Syarbaini, salah satu pengajar Pesantren Daarul Jalal, Jumat (6/10/2023).


Alumnus Pondok Pesantren As'ad Jambi ini menjelaskan, dalam proses belajar menulis aksara Arab Melayu langkah pertamanya yaitu mengenal aksara hijaiyah dasar ke santri, lalu bisa menyambung huruf Arab dan bisa membaca tanpa harakat atau disebut Arab gundul.


Selanjutnya, santri dilatih membaca kitab-kitab kuning yang berbahasa Melayu seperti Kitab Perukunan, kitab Tajul Muluk, kitab Sirajul Huda, kitab Tanbihul Ghofilin, dan Bidayatul Hidayah. Khusus kitab tasawuf ada kitab Hikam Melayu. Di ilmu nahwu ada kitab Jurumiyah menggunakan bahasa Melayu.


"Pimpinan pesantren ingin tradisi Melayu tetap dipertahankan sebagai ciri khas," imbuhnya.


Dijelaskannya, sistem pembelajaran di Pesantren Daarul Jalal dimulai pukul 14.00 WIB hingga salat Ashar. Habis magrib ngaji Al-Qur'an, setelah Isya kembali mengaji kitab kuning.


Umumnya untuk pemula, seorang guru akan menuliskan Arab sesuai di kitab, semisal kitab Fathul Qorib bab air di papan tulis. Setelah itu guru memberikan arti dari bahasa Arab tersebut dengan aksara Arab Melayu. Tujuan utama agar mudah dipahami oleh masyarakat Melayu dan tidak merasa asing dengan materi pembelajaran. 


"Sistem belajarnya nulis Arab dulu di papan tulis, lalu diterjemahkan ke Arab Melayu. Semisal, faslun diartikan bermula ini satu fasal," beber Ustadz Syarbaini.


Menurut Ustadz Syarbaini, saat ini semakin sedikit pesantren di Jambi yang tetap mempertahankan Arab Melayu. Padahal dahulu, seseorang yang bisa menulis dan membaca Arab Melayu maka dianggap sebagai orang terpandang. Sehingga orang dulu berlomba-lomba mempelajari cara penulisan Arab Melayu.


"Tidak hanya kitab kuning yang berbahasa Melayu, syair pun banyak berbahasa Melayu. Buku sejarah juga banyak ditulis dengan Arab Melayu," katanya.


Secara umum, katanya, aksara Arab Melayu merupakan campuran huruf Arab yang terdiri dari 29 dengan 5 huruf bukan Arab yaitu ca (ج), nya (ث), ga (ك), ng (غ), pa (ف). Dalam penulisannya sedikit berbeda dengan Arab Pegon, di mana ketika menulis kata 'percaya' di Pegon memakai فرجايا, huruf ya' di akhir ada alifnya. Di Arab Melayu tidak ada alif.


Saking pentingnya mempertahankan budaya Melayu, bahkan sejak madrasah ibtidaiyah, para tuan guru di Provinsi Jambi zaman dahulu sudah mengajarkan Arab Melayu. Memberikan makna dengan Arab Melayu, hingga kitab yang dikaji pun berbahasa Melayu.


"Saya dulu belajar Arab Melayu di madrasah sore, lalu belajar lagi di Pesantren As'ad. Berharap sekali banyak generasi muda yang belajar Arab Melayu, tidak hanya di sini saja," tandasnya.