Daerah BULAN BUDAYA NU

Hadratul Muhibbin, Melunakkan Hati Preman Hingga Pembalap

Kam, 14 Maret 2013 | 23:10 WIB

Solo, NU Online 
Pada acara Pasar Rakyat NU di Lapangan Kota Barat Solo, akhir pekan lalu, di atas kursi stadion puluhan laki-laki tampak duduk konsentrasi, tapi santai dan ceria.
<>

Mereka berseragam kemeja putih, sarungan, dan tangannya sibuk mengelus-elus alat musik tabok, rebana atau genrjing. 

Mereka hendak mengikuti lomba hadrah se Solo Raya yang diselenggarakan panitia pasar rakyat. Di antara mereka, adalah Grup Hadrah Hadratul Muhibbin (HM).

Grup yang baru berdiri pada 19 Juli 2009 itu turut meramaikan persaingan lomba. Di Solo nama grup HM ini sudah dikenal luas.  Saat ditemui kontributor NU Online, Marwan, salah seorang pendiri HM mengatakan bahwa tujuan awal HM ini didirikan, yakni agar semakin banyak orang yang suka bershalawat.

“Supaya shalawatan bisa menjamur dimana-mana,” ujar Marwan yang saat ini berusi 42 tahun.  Ia kemudian sedikit bercerita ke belakang, tentang sejarah berdirinya HM. 

“Awalnya grup ini, hanya lima orang, yang bernisiatif untuk mendirikan pengajian rutin keliling. Dalam pengajian tersebut, selain membaca maulid simtuduror, terlebih dahulu kita buka dengan membaca Ratibul At-thas,” Marwan bercerita.  

Dari pengajian rutin itulah, lambat laun, bergabung anggota-anggota yang lain. Mereka berjama’ah atau berkomunitas. Guyub dalam musik dan shalawatan. 

Uniknya, mereka berasal dari berbagai latar belakang sosial. Ada mantan rapper, preman, ketua klub motor, dan lainnya.  “Ini mungkin barokah shalawat. Sang Rapper sekarang menjadi pelantun shalawat nan merdu, mantan preman menjadi pemukul rebana,” lanjut Marwan.

Ya, kesenian, budaya dan shalawat yang kemudian mampu menyatukan perbedaan latar belakang mereka. Sampai saat ini total personil kurang lebih ada 19 orang, yang juga berasal dari berbagai lintas generasi.

Anak-anak muda menyukai HM, di antaranya karena variasi musiknya yang beragam. Seperti yang diutarakan pemuda 22 tahun, Muharrom Fajar Nugroho Adi, "Kekompakan cara bermainnya, bisa mengaransemen dan membuat variasi tabuhan."  

Salah seorang personil HM, Syafi’i, menuturkan tentang suka-duka yang dialaminya bersama HM sejak pertama kali dirinya ikut.

“Yang paling saya berkesan, sekaligus yang paling melelahkan, saat kami membawakan 35 lagu dalam sebuah kegiatan,” kenang pemuda berusia 22 tahun itu.  

Ia menambahkan, sejak awal berdiri, Hadratul Muhibbin yang berarti “hadirnya para pecinta Rasul atau para pecinta hadrah” ini, memulai semuanya dari nol. Ibarat orang berjualan, modal awal diperoleh dari hasil ngutang.  

“Dulu, untuk alat-alat musik dan seragam, kita peroleh melalui berbagai pinjaman dan bantuan dari berbagai pihak,” tutur Syafi’i, jebolan sebuah pesantren di Madura.  

Namun, seiring dengan banyaknya tawaran ‘manggung’, perlahan HM dapat membeli peralatan sendiri. Bahkan, belakangan HM tampil berbeda apabila dibandingkan dengan grup rebana lainnya, setelah membeli dua alat musik baru, Jimbe dan Dumbok. Kedua alat musik itu berasal dari Afrika dan Timur Tengah.  

Dengan alat musik baru tersebut, HM mampu menampilkan lantunan shalawat dengan nada dan irama yang lebih bervariasi. Pun dengan menampilkannya dalam jenis musik yang lain seperti gambus, campursari, semua dapat diaransemen dengan alat musik yang ada. Untuk semakin mengasah kemampuan dan kekompakan dalam tim, grup ini berlatih minimal sekali dalam seminggu.

Selain keliling hingga pelbagai daerah seperti Magelang, Kalten, Semarang, Jogjakarta, Pacitan, dan lain-lain, Hadrotul Muhibbin juga punya acara rutinan tiap malam Rabu, di Sunniyah, Kauman, Tanjung Anom, Dawung Sukoharjo. 

Penasaran dengan rampak suaranya? Silakan datang atau undang.  

Redaktur      : Hamzah Sahal
Kontributor  : Ajie Najmuddin