Bahtsul Masail

Menyoal Status Orang Tua Rasulullah SAW sebagai Penghuni Neraka

Sen, 13 Maret 2017 | 04:03 WIB

Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Yang terhormat redaksi Bahtsul Masail NU Online. Kami pernah membaca sebuah hadits yang menyatakan bahwa bapak dari Nabi Muhammad SAW termasuk penghuni neraka. Bagaimana memahami hadits ini? Terima kasih atas penjelasannya. Wassalamu ‘alaikum wr. wb. (Salim/Jakarta)

Jawaban
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya dan pembaca yang budiman. Semoga Allah SWT melimpahkan rahmat dan petunjuk-Nya untuk kita semua. Pertama sekali yang perlu diketahui bahwa masalah status orang tua Rasulullah SAW sebagai penghuni neraka itu membelah ulama menjadi dua kelompok.

Kelompok pertama menyatakan bahwa orang tua Rasulullah SAW adalah penghuni neraka. Kelompok ini mendasarkan pendapatnya pada hadits riwayat Anas bin Malik RA sebagai berikut.

عن أنس أن رجلا قال لرسول الله صلى الله عليه وسلم يا رسول الله أين أبي قال في النار قال أَنّ رَجُلاً قَالَ: يَا رَسُولَ اللّهِ، أَيْنَ أَبِي؟ قَالَ: فِي النّارِ. فَلَمّا قَفّى دَعَاهُ فَقَالَ: إِنّ أَبِي وَأَبَاكَ فِي النّارِ

Artinya, "Salah seorang sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, di manakah kini ayahku?’ Nabi Muhammad SAW menjawab, ‘Di neraka.’ Ketika orang itu berpaling untuk pergi, Nabi Muhammad SAW memanggilnya lalu berkata, ‘Sungguh, ayahku dan ayahmu berada di dalam neraka,’” (HR Muslim).

Sedangkan kelompok kedua menyatakan bahwa orang tua Rasulullah SAW bukan penghuni neraka karena mereka termasuk ahli fatrah. Sementara ahli fatrah tidak disiksa oleh Allah SWT karena memang dakwah rasul tidak sampai kepada mereka. ulama pada kelompok kedua ini mendasarkan pendapatnya pada Surat Al-Isra ayat 15.

وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولا

Artinya, “Kami juga takkan menyiksa hingga Kami mengutus seorang rasul,’ (Surat Al-Isra Ayat 15).

Dua dalil yang tampak bertentangan (ta’arudh/kontradiktif) itu kerap membingungkan kita sebagai orang awam. Tetapi sejatinya hal ini dapat diselesaikan dengan metode-metode yang ditulis oleh para ulama. Selain masalah dalalah (konten), ulama juga menawarkan metode wurud (kualitas periwayatan). Menarik diamati bagaimana Syekh Ibrahim Al-Baijuri menyelesaikan dua dalil ta’arudh di atas sebagai berikut.

فإن قيل) كيف هذا مع أن النبي صلى الله عليه وسلم أخبر بأن جماعة من أهل الفترة في النار كامرئ القيس وحاتم الطايئ وبعض آباء الصحابة سأله صلى الله عليه وسلم وهو يخطب فقال أين أبي فقال في النار (أجيب) بأن أحاديثهم أحاديث آحاد وهي لا تعارض القطعي وهو قوله تعالى وما كنا معذبين حتى نبعث رسولا وبأنه يجوز أن يكون تعذيب من صح تعذيبه منهم لأمر يختص به يعلمه الله تعالى ورسوله

Artinya, “Kalau ditanya, ‘Bagaimana ini (dipahami)? Sementara Rasulullah SAW sendiri mengabarkan bahwa sejumlah orang ahli fatrah menjadi penghuni neraka seperti Umru’ul Qais, Hatim At-Tha’i, dan sejumlah orang tua para sahabat Rasulullah.’ Seseorang bertanya perihal ini kepada Rasulullah SAW yang tengah berkhotbah, ‘Di mana ayahku?’ Rasulullah SAW menjawab, ‘(Ia) di neraka.’ Jawabnya, ‘Semua hadits yang menerangkan ahli fatrah itu berstatus ahad. Menurut kaidah, hadits dengan status ahad (tidak cukup kuat) untuk bertentangan dengan dalil qath’i, yaitu Surat Al-Isra ayat 15, ‘Kami takkan menyiksa sehingga kami mengutus seorang rasul’. Boleh jadi Allah menyiksa ahli fatrah itu (bukan karena akidahnya, tetapi) karena dosa tertentu yang hanya diketahui oleh Allah dan Rasul-Nya,’” (Lihat Syekh Ibrahim Al-Baijuri, Hasyiyah Tuhfatil Murid ala Jauharatit Tauhid, Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabaiyah, tanpa tahun, halaman 18-19).

Keterangan Al-Baijuri ini menarik. Ia berargumentasi bahwa hadits yang riwayat Imam Muslim melalui sahabat Anas RA itu berstatus ahad (zhanni). Sedangkan Surat Al-Isra ayat 15 itu berstatus mutawatir (qath’i). Secara kaidah hal ini sudah jelas bahwa ketika ada sejumlah dalil yang ta’arudh secara periwayatan, maka kita harus mengutamakan dalil yang berstatus mutawatir dibanding dalil yang berstatus ahad.

Kita tentu saja dianjurkan untuk mengikuti pendapat yang kuat (rajih) dibanding yang lemah (marjuh). Tetapi bagaimana pun kita sebagai orang awam harus menghargai ijtihad para ulama. Jangan sampai perbedaan pendapat para ulama dalam masalah ini menyebabkan kita sesama orang awam saling menyalahkan satu sama lain atau bahkan meremehkan ulama besar yang berbeda pendapat dengan kita.

Kalau ulama berbeda pendapat, biarkan saja. Itu urusan para ulama. Kita sebagai orang awam baiknya mengambil diam saja. Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq
Wassalamu ’alaikum wr. wb.



(Alhafiz Kurniawan)